beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Masyarakat

COVID-19: Malapetaka yang Menyimpan Misteri Awal Mula dan Akhirnya

Mar 30, 2021
/
8 min read
cover article

cover COVID-19: Malapetaka yang Menyimpan Misteri Awal Mula dan Akhirnya

Intro
Lebih dari setahun berlalu, ‘biang kerok’ pandemi ini masih belum jelas asal muasalnya. Kini ia pun makin berulah dengan membentuk mutasi yang baru.

DISCLAIMER: Penelitian terkait Covid-19 berkembang dengan amat pesat. Informasi yang tertera pada artikel ini menggunakan sumber valid yang tersedia hingga tanggal artikel ini dipublikasi. Mohon pembaca senantiasa memperbarui informasi terkait Covid-19 dari sumber terpercaya.

“Hari ini, pemeriksaan asam nukleat (PCR) saya positif. Tidak ada keraguan lagi, akhirnya tegak diagnosis (saya).”

Kutipan di atas adalah postingan Li Wenliang di media sosial Weibo pada 30 Januari 2020. Dr. Li adalah dokter spesialis mata yang berpraktik di Rumah Sakit Pusat Wuhan. 

Hampir sebulan sebelumnya, Dr. Li mengingatkan para sejawat dokter melalui pesan singkat tentang adanya ancaman wabah baru yang menyerupai Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) di Wuhan, tempat ia berpraktik. Akibat tindakan ini, Dr. Li bersama tujuh orang lainnya dipanggil oleh pihak kepolisian Wuhan atas tuduhan ‘menyebarkan pernyataan palsu’ dan ‘memicu kegaduhan publik’. Delapan orang ini diminta menandatangani surat pernyataan untuk ‘tidak melanjutkan aktivitas ini’. Setelahnya, Dr. Li kembali bekerja.

Kurang dari seminggu kemudian, Dr. Li menangani seorang pasien penderita glaukoma. Ia tidak tahu saat itu bahwa pasien ini telah terinfeksi virus yang ia khawatirkan itu. Akibatnya, Dr. Li mengeluhkan batuk-batuk beberapa hari kemudian, lalu demam. Ia akhirnya dirawat di rumah sakit.

Kondisi Dr. Li terus memburuk sehingga ia harus mendapatkan perawatan intensif. Pneumonia (infeksi paru) yang dideritanya amat berat. Ia akhirnya meninggal pada 7 Februari 2020, menutup usia di 33 tahun.

dr. Li.jpg

Publik Tiongkok mengenang Dr. Li Wenliang. Credit: Associated Press.

Dr. Li dikenang sebagai pelapor alias whistleblower dari kemunculan Covid-19 (saat itu masih bernama novel Coronavirus) di Wuhan, Tiongkok. Upaya pembungkaman Pemerintah Tiongkok terhadap Dr. Li dan tujuh sejawat dokter lainnya memicu protes dari warga Tiongkok. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur. Sampai hari kematian Dr. Li, Covid-19 sudah menyebar ke Thailand, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan banyak negara lainnya. Hingga akhirnya kini Covid-19 sudah merambah ke hampir seluruh pelosok dunia. Per 15 Maret 2021, tercatat hanya 13 dari 238 negara berdaulat yang tidak melaporkan adanya kasus Covid-19, dengan mayoritas negara-negara tersebut adalah negara kepulauan di Samudera Pasifik.

Masifnya dampak yang ditimbulkan Covid-19 di seluruh dunia – dengan segala upaya untuk menanggulanginya – sayangnya belum membawa kita ke jawaban yang memuaskan mengenai asal usul virus penyebab pandemi ini. Benar virus ini memilki beberapa kesamaan dengan SARS-CoV (virus penyebab wabah SARS pada 2002 lalu), dengan homologi (kesamaan) hingga 70%. Namun, bagaimana virus ini bisa ditransmisikan ke manusia? Hewan apa yang menularkannya?

Apa, bagaimana, dan mengapa virus Corona?

Ketika mendengar ‘corona’ atau ‘virus corona’ pada satu tahun belakangan, kita tentu mengacu kepada virus SARS-CoV-2: virus yang menjadi aktor utama pandemi ini. Akan tetapi, perlu diketahui virus ini bukan satu-satunya virus corona. Coronavirinae merupakan kelompok virus yang terdiri dari empat genus: alfa, beta, delta, dan gammacoronavirus. Hanya genus alfa dan betacoronavirus yang dapat menginfeksi manusia. Jika menginfeksi manusia, virus dari kelompok ini dapat menyebabkan infeksi saluran napas dengan berbagai tingkat keparahan, dari flu ringan hingga distres pernapasan akut. 

SARS-CoV-2 merupakan virus jenis baru yang ditemukan di Wuhan 2019 lalu, tetapi kelompok virus Corona sudah ada cukup lama. Bahkan, dua virus tipe Corona telah menggemparkan dunia terlebih dahulu pada 20 tahun terakhir: yaitu SARS-CoV yang menyebabkan epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS di Tiongkok pada 2002 dan MERS-CoV yang menyebabkan Middle East Respiratory Syndrome di timur tengah pada 2012.

Mengapa virus dari kelompok Coronavirinae kerap menjadi aktor utama epidemi? Belum ada yang tahu persis, sejauh ini ilmuwan hanya bisa berspekulasi. Salah satu teori adalah peran kelelawar sebagai karier utama kelompok virus ini. Studi yang melibatkan 19 ribu hewan dari 20 negara menunjukkan bahwa kelelawar bertanggung jawab atas 98% virus corona yang dideteksi pada seluruh hewan yang diuji. Studi ini juga menemukan 9 persen dari 12 ribu kelelawar yang diteliti secara acak terinfeksi satu atau lebih jenis virus corona. 

Apa yang membuat kelelawar istimewa dalam menjadi karier ? Artikel karya Irving et al, yang dipublikasi di jurnal Nature menyebutkan beberapa keistimewaan kelelawar. Kelelawar juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang sangat baik sehingga kelelawar bisa terinfeksi berbagai macam kuman tanpa menimbulkan gejala. Kekebalan yang sangat baik ini menyebabkan kelelawar berumur panjang (satu spesies kelelawar dari Siberia dapat berumur hingga 41 tahun). Sebagai satu-satunya mamalia yang bisa terbang, kelelawar tersebar di seluruh dunia – dengan pengecualian pada area kutub dan gurun. Kombinasi dari karakteristk di atas, ditambah dengan berbagai faktor lainnya mendukung kelelawar menjadi karier virus yang efektif.

Namun demikian, menjadi karier yang baik saja tidak cukup. Sebelum memasuki sel manusia untuk pertama kalinya, virus seharusnya sudah ditransmisikan dari sel inang lainnya. Sel inang lainnya bisa berupa hewan atau misal serangga. Munculnya patogen dari sel inang ke sel inang lainnya yang berbeda spesies disebut sebagai peristiwa spilloveratau host-switching (pergantian inang). Penyakit-penyakit menular yang kita temukan pada manusia, seperti campak, influenza, cacar, dan malaria bermula dari peristiwa spillover hewan ke manusia.

Peristiwa spillover dipengaruhi oleh faktor sosial, lingkungan, dan biologis yang memberikan peluang untuk terjadinya interaksi antara inang dan manusia. Disrupsi ekosistem alamiah kelelawar yang terjadi akibat perubahan iklim, ditambah dengan peningkatan urbanisasi dipikirkan sebagai penyebab dari meningkatnya peristiwa spillover dari kelelawar ke manusia. Merebaknya kasus pneumonia di Wuhan pada Desember 2019 menandakan awal mula pandemi ini. Empat kasus pertama yang terkonfirmasi di Wuhan memiliki riwayat berpergian ke pasar ikan Huanan. Setelah diselidiki lebih lanjut, pasar ikan ini ternyata tidak hanya menjual ikan, tetapi juga hewan-hewan eksotis seperti ular, musang, dan tentunya kelelawar. Perlu diketahui juga bahwa daerah Tiongok Selatan (termasuk Wuhan) sedang melalui perkembangan ekonomi yang pesat, yang salah satunya ditandai oleh urbanisasi masif penduduk. Keberadaan pasar hewan ditambah dengan urbanisasi tentunya meningkatkan risiko adanya interaksiantara inang (kelelawar) ke manusia sehingga meningkatkan risiko peristiwa spillover.

Temuan di Lapangan

Namun, bahkan dengan teori yang mendukung, kenyataan di lapangan ternyata lebih kompleks. Hasil dari pemeriksaan PCR hewan-hewan yang dijual di pasar ikan Huanan tidak ada yang positif mengandung virus SARS-CoV-2. Dari temuan ini, para pakar di Tiongkok mulai memikirkan teori lain penyebaran virus ini. Mereka berpikir bahwa bisa jadi peristiwa spillover hewan ke manusia terjadi di luar pasar, lalu orang yang terinfeksi menjadi superspreader (penyebar virus efektif) di dalam pasar. Teori lain mengemukakan adanya hewan lain, seperti pangolin Malaysia, yang diduga mentransmisikan virus ini ke manusia pertama kali. Asal muasal infeksi pertama Covid-19 masih simpang siur.

WHO sebagai organisasi kesehatan dunia menyadari pentingnya menemukan asal muasal virus ini. Di World Health Assembly 2020, menteri kesehatan seluruh dunia mencanangkan resolusi untuk menemukan hewan pembawa virus ini ke manusia. Menindaklanjuti ini, WHO menugaskan gugus tugas untuk meneliti asal muasal virus SARS-CoV-2 langsung ke Hubei, Tiongkok. Tim ini melakukan investigasi selama 1 bulan dari pertengahan Januari hingga Februari 2021. Peter Ben Embarek, ketua dari gugus tugas WHO untuk investigasi ini, menekankan pentingnya menemukan hewan asal muasal spillover ini adalah karena: 1) Menemukan hewan asal muasal virus ini dapat mencegah munculnya kembali virus ini ke manusia, 2) Memahami mekanisme transmisi dari hewan ini ke manusia dapat mencegah kejadian yang sama di masa depan, dan 3) Menemukan susunan virus ini pada hewan sebelum ditularkan ke manusia dapat membantu dalam mengembangkan vaksin yang efektif.

Gugus tugas ini telah pulang dari Hubei. Temuan dari investigasi di sana mengkonfirmasi beberapa teori tentang penyebaran virus ini. Mereka beranggapan bahwa kelelawar kemungkinan besar berperan karier virus, tetapi tidak langsung menularkannya ke manusia. Kelelawar ini membawa virus, lalu ditularkan ke suatu hewan lain yang belum diketahui, lalu hewan ini menularkan ke manusia. Terkait hewan apa yang menularkan ke manusia masih jadi pertanyaan hingga saat ini. Investigasi ini juga menyangkal teori bahwa virus ini ditularkan melalui makanan beku atau virus merupakan hasil kebocoran dari Wuhan Institute of Virology, suatu teori konspirasi yang banyak berkembang di masyarakat. 

Penelitian ini bukan ditujukan untuk menentukan sumber penularan yang sebenarnya, hal ini membutuhkan beberapa tahun menurut Peter Daszak, salah satu peneliti dari gugus tugas WHO ke Wuhan. 

Tantangan Baru

Sementara gugus tugas besutan WHO berupaya meneliti asal muasal virus ini, virus Corona mengeluarkan ‘jurus’ yang berpotensi menghambat upaya kita dalam menanggulangi virus dan pandemi ini. Jurus itu adalah mutasi.

Mutasi adalah perubahan dari sekuens materi genetik. Mutasi terjadi akibat berbagai banyak faktor, utamanya adalah karena ‘kesalahan’ virus ini dalam memperbanyak dirinya melalui sel inangnya yang beragam. Perubahan materi genetik ini lantas mengubah karakteristik dari virus ini, bisa menjadi lebih lemah atau kuat. 

Dalam konteks Covid-19, varian B.1.1.7 dari virus Corona yang ditemukan di Inggris memiliki tingkat penularan dan derajat keparahan yang lebih tinggi. Varian lain yaitu B.1.3.5.1 yang ditemukan di Afrika selatan terbukti mengurangi efektivitas vaksin Pfizer/BioNTech hingga dua pertiganya.

Mutasi Covid.png

Mutasi dan Varian dari virus SARS-CoV-2. Credit: Europena Centre of Disease Prevention and Control

“Tingginya jumlah virus mirip SARS-CoV dalam kelelawar tapal kuda adalah bom waktu. Potensi kemunculan kembali SARS dan virus-virus baru lainnya tidak boleh diabaikan.”

Kutipan di atas diambil dari publikasi Cheng et al, pada tahun 2007. Cheng dan rekan menyadari potensi katastropik yang bisa ditimbulkan dari virus ini setelah meneliti virus SARS yang menyebabkan epidemi pada 2002 lalu. Tidak banyak yang menggubris. Akhirnya 12 tahun kemudian muncul virus SARS-CoV-2 penyebab dari pandemi Covid-19 ini. 

Sangat mungkin terjadi kemunculan virus baru dari kelompok Coronavirus beberapa tahun di masa depan. Untuk itu, upaya menggali asal muasal dan penularan awal dari virus ini menjadi modal yang sangat penting dalam mencegah timbulnya pandemi di masa depan.[SPS]

Cover Photo Credit: Centre for Disease Control

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved