beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Masyarakat
/
Kesehatan Reproduksi

Child-free : Dari Tabu ke Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Sep 13, 2021
/
9 min read
cover article

cover Child-free : Dari Tabu ke Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Intro
Ada apa dengan Child-free dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi?

Kata “child-free” sempat menjadi sangat akrab di telinga kita setelah beberapa influencers Indonesia menyatakan secara terbuka bahwa mereka memutuskan untuk “child-free”.  Keputusan tersebut pastinya memicu reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Banyak yang menentang, tetapi tak sedikit pula yang memberikan dukungan. Lalu, bagaimana sebenarnya fenomena child-free jika dilihat dari kacamata Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi?

Mengenal Child-free

Istilah child-free merujuk pada suatu situasi atau tempat tanpa adanya kehadiran anak-anak, termasuk dalam keputusan untuk tidak memiliki anak. Keputusan seseorang untuk menjadi child-free di Indonesia, apalagi bagi mereka yang telah menikah, memang masih sering menjadi perbincangan. Tak heran, karena di benak banyak orang di Indonesia, memiliki anak adalah salah satu tujuan utama pernikahan.

Seperti halnya dalam memilih untuk memiliki anak, memilih untuk child-free adalah sebuah keputusan besar. Keputusan yang tentunya telah dipertimbangkan secara matang dan sadar. Tiap orang  memiliki alasan yang berbeda-beda untuk mencapai keputusan tersebut. Faktor yang dapat melatarbelakangi keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupan, faktor sosial-budaya, gender, status ekonomi, tingkat pendidikan, serta berbagai faktor interseksional lainnya. Situasi global seperti kerusakan lingkungan dan kependudukan pun turut menjadi pertimbangan. Selain itu, faktor yang juga menjadi pertimbangan adalah kondisi fisik, faktor lingkungan, seperti kondisi keluarga, kesiapan mental dan finansial, pertimbangan fokus utama dalam kehidupan, serta alasan personal lainnya.

Meski baru-baru ini diributkan oleh netizen Indonesia, sebenarnya menjadi child-free bukanlah fenomena baru. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa satu dari empat dari orang dewasa Michigan diidentifikasi sebagai child-free. Jumlah ini mengalami peningkatan secara drastis dibandingkan dengan apa yang sudah dilaporkan di penelitian-penelitian sebelumnya. Fenomena di Singapura dan Korea juga menunjukkan bahwa di antara perempuan atau pasangan yang telah menikah, proporsi mereka yang tidak memiliki anak meningkat di hampir semua kelompok usia. 

Keputusan besar untuk menjadi child-free dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Tak sedikit anggota masyarakat yang melayangkan penilaian positif maupun negatif, tentu berkaitan dengan sudut pandang yang mereka gunakan. Apa yang terlihat sebagai sisi positif bagi seseorang, tidak mustahil merupakan sisi negatif bagi orang lain, begitupun sebaliknya. Membahas benar-salahnya keputusan child-free pada akhirnya merupakan kegiatan yang tak berujung. Namun, “keributan” ini kembali mengingatkan kita bahwa banyak sekali kalangan yang masih asing dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) tiap-tiap individu.

Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR)

Sumber: UNFPA

Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di Indonesia masih menjadi pembahasan yang langka dan seringkali dinilai sebelah mata. Padahal sudah lebih dari 25 tahun lalu sejak Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development/ICPD) tahun 1994 di Kairo menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak reproduksi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui oleh hukum internasional. Keberlanjutan aksi dari konferensi ini adalah adanya perumusan 12 hak-hak reproduksi oleh International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa hak ini merupakan hal yang mendasar bagi setiap individu untuk mendapatkan kehidupan yang sehat dan sejahtera. 

12 komponen Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) terdiri dari hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak atas kerahasiaan pribadi, hak atas kebebasan berpikir, hak mendapatkan informasi dan pendidikan, hak untuk menikah atau tidak menikah, hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak dan kapan mempunyai anak, hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi politik  dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.

Sangat tergambar jelas bahwa HKSR ini memiliki poin-poin penting yang mencakup hak semua individu untuk membuat keputusan mengenai aktivitas seksual dan reproduksi mereka, termasuk salah satunya adalah memastikan setiap individu dapat memilih apakah dan kapan akan mempunyai seorang anak. Pemenuhan HKSR masih menjadi tantangan sendiri di Indonesia, seringkali berbagai upaya untuk pemenuhan HKSR dianggap berbenturan dengan budaya.

HKSR dan Perempuan

Hak seseorang untuk secara mandiri menentukan apakah ia ingin memiliki anak dan kapan ia ingin memiliki anak bukan hanya sekedar urusan membentuk keluarga. Namun, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kesehatan pada umumnya, khususnya bagi perempuan, seperti pada fenomena Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia. Sebuah laporan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa  17,5% kehamilan di Indonesia merupakan KTD. Sementara itu, AKI di Indonesia pada tahun 2019 yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini cukup tinggi, dan tidak sesuai dengan target AKI yang ditetapkan pada tahun 2015, yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup.  Pandemi COVID-19 memberikan tantangan sendiri terhadap pemenuhan HKSR yang belum usai bagi perempuan, data menyebutkan bahwa 20 persen kematian ibu hamil selama pandemi COVID-19 diakibatkan oleh COVID-19. 

Salah satu komponen penting dalam HKSR adalah seorang individu memiliki hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak, serta saat untuk mempunyai anak. Namun, tekanan stigma sosial yang tampak maupun tidak tampak, seperti nilai ‘anak’ di masyarakat tentunya sangat berpengaruh terhadap keputusan individu. Apabila dukungan terhadap pemenuhan akan hak ini tidak ada, maka seseorang tidak dapat dikatakan memiliki kesehatan reproduksi yang baik. Contohnya, pada permasalahan akses kontrasepsi yang terbatas dan kebijakan kontrasepsi bagi beberapa kalangan yang masih menjadi pro dan kontra, maka hal ini dapat berisiko meningkatkan angka kejadian KTD. Secara definisi, KTD adalah sebuah kehamilan pada perempuan yang tidak diharapkan atau diinginkan. 

KTD tidak hanya banyak dialami oleh remaja perempuan, namun juga oleh perempuan yang sudah menikah sebagai akibat dari kegagalan kontrasepsi. Terhambatnya akses terhadap alat kontrasepsi berisiko memunculkan masalah-masalah seperti perubahan pola pemakaian kontrasepsi, potensi meningkatnya putus pakai kontrasepsi, hingga risiko KTD.  Sampai dengan saat ini, kejadian KTD masih menjadi salah satu faktor risiko tingginya AKI di Indonesia, karena KTD sendiri berkaitan erat dengan kesiapan ibu dan peningkatan akses terhadap aborsi tidak aman. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa aborsi tidak aman merupakan konsekuensi yang sering terjadi dari KTD di negara berkembang, termasuk Indonesia. Aborsi yang tidak aman tentu dapat mengakibatkan efek kesehatan negatif jangka panjang yang serius, seperti infertilitas dan kematian ibu. 

Stigma dan miskonsepsi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi juga berpengaruh terhadap kesehatan perempuan. Kesehatan seksual dan reproduksi yang masih tabu dan dianggap akan dapat diketahui dan dipelajari dengan sendirinya menjadikan permasalahan seputar kesehatan seksual dan reproduksi seperti fenomena gunung es. Contoh nyatanya adalah pada kesehatan reprodusi remaja, beberapa kalangan dengan terang-terangan menolak pemberian edukasi kesehatan reproduksi remaja karena dianggap tidak mencerminkan ajaran agama maupun budaya. Hal ini tentu memperburuk situasi kesehatan seksual dan reproduksi remaja, karena dengan karakteristik remaja yang merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa, maka kebutuhan akan informasi, termasuk informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi merupakan suatu kebutuhan. 

Dengan ‘penanaman’ stigma bahwa kesehatan seksual dan reproduksi ini adalah hal tabu, yang tidak perlu dibicarakan, membuat remaja ketika dewasa tidak memiliki keberanian untuk memeriksakan diri serta berpendapat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksinya sendiri. Belum lagi pandangan di masyarakat Indonesia terkait perempuan, bahwa ‘kodrat’ perempuan adalah menjadi ibu. Sehingga, usia berapapun dengan ataupun tanpa persiapan beberapa perempuan ‘terpaksa’ menjalani fungsi reproduksi hamil dan melahirkan, terlepas apapun masalah kesehatan seksual dan reproduksi yang sedang ia hadapi.

Mempersiapkan Pilihan Perempuan sebagai Upaya Pemenuhan HKSR

Memahami sedemikian kompleksnya masalah kesehatan seksual dan reproduksi, daripada energi kita habis tak bermanfaat meributkan keputusan seksual seseorang, bukankah lebih baik kita mendorong tersedianya akses pada layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang berkualitas bagi semua, terlepas dari apakah ia sudah, belum, atau tidak akan memiliki anak? 

Layanan kesehatan seksual dan reproduksi bukan hanya urusan hamil dan melahirkan. Setiap manusia di setiap siklus hidupnya memerlukan akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Misalnya, remaja membutuhkan akses terhadap pendidikan dan informasi akan kesehatan seksualitas dan reproduksi yang komprehensif, sehingga dalam prosesnya menuju dewasa, ia memiliki ‘bekal’ dalam mempersiapkan diri dalam menjalani masa reproduksinya dengan sehat dan bertanggung jawab. Dilansir dari Kemenkes, data pada tahun 2018 menunjukkan bahwa angka kejadian anemia pada remaja di Indonesia adalah sebesar 32%, artinya 3-4 remaja menderita anemia. Anemia yang tidak tertangani saat remaja, dapat berlanjut hingga dewasa dan menimbulkan dampak serius, mengingat remaja perempuan merupakan para calon ibu yang nantinya akan hamil dan melahirkan. Anemia pada kehamilan terbukti meningkat risiko kematian ibu saat melahirkan, kelahiran prematur dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). 

Seorang perempuan juga membutuhkan akses akan informasi dan layanan kesehatan yang diperlukan. Salah satunya ialah memiliki informasi akan pentingnya melakukan deteksi dini risiko kesehatannya. Seperti, deteksi dini kanker payudara melalui  Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari), deteksi dini kanker serviks melalui IVA ataupun pap smear, akses terhadap vaksin HPV (Human Papilloma Virus), informasi terkait kesehatan menstruasi, dan akses untuk dapat melakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan jika dirasa ada permasalahan seputar kesehatan reproduksinya.

Pun ketika seseorang memutuskan memiliki anak, selain tentunya ia akan membutuhkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi seperti hamil dan melahirkan. Ia juga akan membutuhkan layanan yang lain, seperti akses terhadap informasi dan layanan kesehatan yang berhubungan dengan gizi, social safety net, parenting, dll.  Seorang pasangan suami istri yang memutuskan untuk memiliki anak hendaknya menyadari penuh bahwa mereka akan mengemban tanggung jawab besar seumur hidup, antara lain memastikan dan menjamin bahwa anak-anaknya akan tumbuh dengan baik, sehat dan menjadi generasi yang berkualitas. Persiapan yang dilakukan oleh pasangan sebelum memutuskan untuk memiliki anak memiliki peran penting bagi kesehatan anak kedepannya.

Berkaitan dengan akses dan layanan yang berhubungan dengan kehamilan dan melahirkan, setiap ibu hamil dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan selama kehamilannya sebanyak minimal 4 kali, dengan rincian 1 kali saat usia kehamilan 0-3 bulan, 1 kali saat usia kehamilan 4-6 bulan dan 2 kali saat usia kehamilan 7-9 kali. Data menunjukkan bahwa, cakupan pelayanan kunjungan ibu hamil ke tenaga kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya sebanyak minimal 4 kali pada tahun 2006 sampai dengan 2019 cenderung stagnan berada pada kisaran 79-88%. Beberapa faktor yang mempengaruhi cakupan pemeriksaan kehamilan antara lain adalah tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu akan pentingnya pemeriksaan kehamilan, status ekonomi keluarga, dan jarak rumah dan fasilitas kesehatan.  Pemeriksaan kehamilan ini berperan penting untuk memantau kondisi perempuan saat kehamilan dan mendeteksi kondisi kesehatan yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut secara dini, tetapi belum semua perempuan Indonesia dapat mengaksesnya dengan mudah.

Pada akhirnya, layanan kesehatan seksual dan reproduksi dibutuhkan tak terbatas pada urusan mengandung dan melahirkan. Setiap pilihan perempuan akan kesehatan seksual dan reproduksinya membutuhkan dukungan dan akses terhadap layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dapat tercipta keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh.

Sumber: unsplash

Untuk memahami kesehatan perempuan setelah menikah secara lebih lanjut, simak diskusi menarik antara Relatif Perspektif dengan Kalis Mardiasih dalam episode Lika-Liku Cinta dan Kesehatan Setelah Menikah pada tautan berikut ini.

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved