beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Pencernaan
/
Seri Detektif Patologi

Dispepsia: Stres yang Berujung Sakit Perut

Mar 28, 2021
/
4 min read
cover article

cover Dispepsia: Stres yang Berujung Sakit Perut

Intro
Keluhan sakit perut yang sering disepelekan

Kasus

Seorang pria berusia 24 tahun datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan mual hingga muntah-muntah beberapa hari terakhir, rasa nyeri pada perut bagian atas atau ulu hati, dan rasa kembung. Seringkali pula ia mengeluhkan perasaan panas atau terbakar pada perut bagian atas. Ketika dilakukan wawancara medis atau anamnesis pada pria tersebut, sebut saja Roy, dia mengaku muntah awalnya berisi makanan namun beberapa muntah terakhir hanya berisi lendir kuning tanpa bercak darah. Sejak 2 hari lalu, dia menuturkan bahwa dia cepat merasa kenyang padahal baru sedikit makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

Apa yang Terjadi Padanya?

Berdasarkan gejalanya, Roy menderita sindrom dispepsia. Mungkin Anda agak asing dengan sebutan dispepsia dan lebih familiar dengan istilah ‘maag’. Kebanyakan masyarakat masih kurang tepat dalam penyebutan istilah gangguan kesehatan ini. Jika dirunut berdasarkan asal-usul bahasanya, kata maag berasal dari bahasa Belanda, yang bermakna perut atau lambung; sedangkan kata dispepsia terdiri atas dua kata bahasa Yunani kuno; dys yang berarti buruk dan pepsis yang bermakna saluran cerna. Jadi, dispepsia bermakna saluran cerna yang terganggu.

Menurut American Academy of Family Physicians, dispepsia didefinisikan sebagai suatu nyeri atau perasaan tidak nyaman pada ulu hati atau perut bagian atas, dapat bersifat hilang timbul, namun kebanyakan keluhan ini menetap sepanjang waktu.

Dispepsia dikelompokkan menjadi dua berdasarkan ada atau tidak masalah yang mendasari, yaitu dispepsia organik dan fungsional. Secara global, dispepsia ditemukan pada hingga 25% populasi dunia. Namun, pada populasi Asia, studi menunjukkan 43-79.5% dari sampel ditegakkan diagnosis dispepsia fungsional. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan dispepsia adalah** gangguan pergerakan saluran cerna, asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, faktor psikososial, gaya hidup, faktor lingkungan, diet,** dan riwayat infeksi saluran cerna. Sejumlah penelitian menyimpulkan beberapa faktor berikut juga dapat mencetuskan dispepsia, yaitu faktor diet (konsumsi makanan tinggi lemak, dengan proses dibakar, cepat saji, pedas; konsumsi kafein seperti kopi dan teh) dan pola hidup (kebiasaan merokok, kurang olahraga, konsumsi alkohol dan obat pereda nyeri). Selain itu, ditemukan pula bahwa depresi dan masalah tidur juga berkaitan erat dengan dispepsia.

Gejala dan Tanda Dispepsia

Dispepsia organik ditandai dengan adanya penyakit primer, seperti gastritis, gastritis erosi, duodenitis, tukak lambung, tukak duodenum, dan kanker. Sedangkan dispepsia fungsional merujuk pada kriteria diagnosis Roma III, yaitu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan saluran cerna:

  • nyeri ulu hati
  • perasaan seperti terbakar di bagian ulu hati
  • perasaan penuh atau tidak nyaman setelah makan
  • perasaan cepat kenyang

Selain memperhatikan gejala-gejala di atas, pasien dengan dispepsia juga perlu dilakukan evaluasi terhadap tanda bahaya, di antaranya:

  • penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
  • nyeri menelan yang semakin memberat
  • pucat
  • demam
  • perdarahan saluran cerna, ditandai dengan muntah darah atau tinja berwarna hitam
  • adanya benjolan pada perut bagian atas
  • riwayat kanker saluran cerna pada keluarga
  • dispepsia yang baru muncul pada pasien di atas usia 45 tahun

Diagnosis Dispepsia

Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan. Dokter akan melakukan wawancara medis—biasa disebut anamnesis—untuk mengevaluasi keluhan yang dialami pasien serta riwayat kesehatan selama ini. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang dibutuhkan untuk memastikan penyebab ketidaknyamanan dan mengesampingkan gangguan yang menyebabkan gejala serupa.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi apabila episode muntah terjadi secara masif, perut yang kembung, dan nyeri tekan pada bagian ulu hati.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa:

  • laboratorium darah
  • endoskopi
  • urea breath test; standar baku emas untuk evaluasi infeksi H. pylori
  • USG abdomen (perut)

Penanganan Dispepsia

Pasien yang baru diinvestigasi mengidap dispepsia akan menjalani pengobatan empirik terlebih dahulu selama 1-4 minggu atau hingga didapatkan penyebab utama melalui evaluasi endoskopi. Terapi yang dapat digunakan di antaranya antasida, antisekresi asam lambung (penghambat pompa proton—PPI dan/atau antagonis reseptor H2—H2RA), prokinetik, dan sitoprotektor. Jika ternyata dari investigasi ditemukan H. pylori, pasien akan diberikan antibiotik yang sesuai selama 1-2 minggu.
Mengatur gaya hidup menjadi lebih sehat dapat berfungsi sebagai pengobatan non-medis, bahkan sebagai upaya pencegahan dispepsia, antara lain:

  • Pola makan yang teratur, porsi dikurangi namun frekuensi ditingkatkan
  • Menghindari makanan yang dapat memicu gangguan pencernaan, seperti berlemak, terlalu pedas atau asam, dan menimbulkan gas.
  • Menghindari makan malam sebelum waktu tidur
  • Menghindari kafein, alkohol, dan rokok.
  • Menghindari obat yang bisa mengiritasi lambung seperti obat pereda nyeri
  • Tidur cukup, minimal 6-8 jam sehari.
  • Manajemen stress dengan baik

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, stres merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kondisi lambung dan mencetuskan dispepsia. Oleh karena itu, pengelolaan stres yang baik merupakan salah satu kunci utama penanganan dispepsia. Mari dengarkan relatif perspektif podcast edisi kesehatan mental, yaitu episode 5: Mental Health Series bareng dr. Andreas Kurniawan, Sp. KJ "Mindfully Caring Ourselves" dan episode 29: Berkenalan dengan Mindfulness untuk Ketenangan Batin bersama Adjie Santosoputro.

Pic from gastro-nyc.com

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved