beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Anak
/
Seri Detektif Patologi

Kejang Demam, Sumber Kepanikan Semua Orang Tua

Mar 28, 2021
/
7 min read
cover article

cover Kejang Demam, Sumber Kepanikan Semua Orang Tua

Intro
Seorang Ibu datang berteriak saat tiba di IGD, anaknya kelojotan dengan mata mendelik ke atas

Ilustrasi Kasus

Hari itu, suasana IGD menjadi kisruh ketika seorang wanita datang berteriak minta tolong sambil menggendong anaknya, berusia sekitar 2 tahun. Perasaan khawatir dan kaget terlihat jelas dari wajah sang Ibu. Sementara itu, anaknya terlihat pucat dan lemas. Ternyata, berdasarkan informasi dari sang Ibu, anaknya baru saja mengalami kelojotan dengan mata mendelik ke atas. Meskipun tidak berlangsung lama, kejadian itu sangat membuat sang Ibu syok. Ibunya menceritakan kaki dan tangan anaknya bergetar kaku tidak karuan. Lehernya terlihat tegang dan matanya mendelik ke atas. Rupanya kejadian ini baru pertama kali dialaminya. Suhunya panas dan tubuhnya berkeringat.

Apa yang baru saja terjadi kepada si kecil malang itu?

Kejang atau Kesurupan?

Bu Santi panik. Hujan lebat disertai angin kencang tidak menyurutkannya menyetir mobil sekencang-kencangnya menuju Instalasi Gawat Darurat RS di dekat rumahnya. Dua kilometer lagi, kuatlah nak! batin Bu Santi sembari melirik dengan cemas melalui spion pengemudi ke kursi belakang mobil. Di sana terbaring Rina, putri kesayangannya dalam pangkuan sang asisten rumah tangga yang saban hari ditugasi mengasuh Rina selagi ibu dan ayahnya bekerja. Rina saat ini tertidur. Butir-butir keringat bertebaran memenuhi wajah dan lehernya. Ia memang sedang demam tinggi sejak 2 hari lalu. Pikirannya melayang ke 30 menit yang lalu.

 Bu Santi yang merupakan seorang finance manager sebuah bank nasional di kotanya sedang bekerja ketika telepon genggamnya berbunyi. Ia memang menginstruksikan asisten rumah tangga yang mengasuh Rina untuk segera mengabari jika terjadi apa-apa pada putri kesayangannya. Sejak 5 hari terakhir Rina batuk dan pilek. Dua hari terakhir badannya mulai demam. Bu Santi yang awalnya mengkhawatirkan putrinya terkena COVID-19 segera membawa putrinya ke lab swasta untuk pemeriksaan swab antigen. Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan non-reaktif, Bu Santi menjadi lega dan memutuskan penyakit Rina hanya batuk pilek biasa sehingga tak perlu dibawa ke rumah sakit. Nanti juga sembuh sendiri, pikirnya waktu itu. Ketenangannya buyar seketika saat asisten rumah tangganya melaporkan dengan panik,

“Bu tolong bu! Adek Rina sepertinya kesurupan!”

“Hah?! Kesurupan bagaimana maksudnya?”

“Iya bu, badannya kelojotan dan matanya seperti mendelik ke atas gitu, bu!”

“Badannya masih panas?”

“Masih bu. Kayaknya malah lebih panas dibanding semalam bu!”

“Mana saya mau lihat. Coba kita video call.” kata Bu Santi dengan panik. 

Ketika melihat bahwa keadaan putrinya memang sedang kelojotan, Bu Santi meringis panik. Kedua tangan dan kaki putrinya kelojotan, matanya mendelik ke atas. Rahangnya mengatup kuat dan lehernya kaku. Ia tak merespon ketika dipanggil. Sembari merekam kejadian itu melalui fitur record video call di telepon genggamnya, Bu Santi bertanya-tanya dalam hati “Apakah ini kejang?”. Ia segera bergegas menyetir ke rumah dan menjemput Rina untuk dibawa ke rumah sakit. Ketika ia sampai di rumah, putrinya sudah terdiam dan tertidur. 

Sesampainya di rumah sakit, Rina dibawa ke IGD Anak dan diperiksa oleh dokter detektif patologi yang sedang berjaga. Bu Santi menceritakan segala yang diketahuinya tentang riwayat sakit Rina kepada dokter. Ia juga memperlihatkan video “kesurupan” Rina kepada dokter. Setelah melakukan pemeriksaan awal, dokter memasangkan selang oksigen ke hidung Rina sembari menginstruksikan obat untuk Rina kepada perawat.

“Dok, kira-kira Rina ini kenapa kelojotan seperti itu ya dok?” tanya Bu Santi

“Ini kejang bu.”

“Hah? Kok bisa kejang dok? Anak saya ga pernah sakit apa-apa dok sebelumnya.”

“Iya bu, penyakit Rina ini berhubungan dengan demam yang sedang terjadi. Kejang pada anak-anak balita seperti Rina tanpa penyebab seperti penyakit otak kita kenal dengan istilah kejang demam.”

“Apakah sama dengan epilepsi dok?”

“Tidak sama bu. Walaupun begitu, sebagian anak dengan riwayat kejang demam di usia balita dapat saja mengalami epilepsi di kemudian hari, khususnya bentukan kejang demam yang dikenal dengan kejang demam kompleks. Yang dialami Rina ini adalah kejang demam sederhana bu, kalau kejang demam kompleks bedanya adalah kejang terjadi selama lebih dari 15 menit, hanya terjadi di bagian tubuh tertentu saja, atau berulang dalam kurun waktu 24 jam. Saya sudah meminta Rina diberi obat penurun panas bu. Sementara Rina kita observasi terlebih dahulu di IGD jika sewaktu-waktu kejang muncul kembali.”

“Baik dok. Apakah kejang demam ini berbahaya dok?”

Mengenal Kejang Demam

Menurut ILAE, kejang demam merupakan kejang pada anak usia lebih dari 1 bulan yang berhubungan dengan naiknya suhu tubuh (demam). Seseorang disebut mengalami kejang demam ketika kejang yang ditimbulkan bukan merupakan akibat dari adanya infeksi sistem saraf ataupun penyakit fisik lain, serta tidak memiliki riwayat kejang tanpa demam ataupun kejang saat baru lahir sebelumnya. Kejang demam ditemui terjadi pada 2-5% populasi anak, umumnya di usia 6 bulan hingga 3 tahun. Puncak kejadian kejang demam paling banyak pada usia 1.5 tahun.

Kejang demam terjadi akibat respon sistem saraf terhadap naiknya suhu tubuh karena infeksi atau sebab lain. Semakin lama demam dan semakin tinggi suhu tubuh saat demam merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam berulang. Kejang demam memang umum ditemui pada anak-anak balita seperti Rina. Untunglah, menurut keterangan Bu Santi tidak ada riwayat kejang demam pada keluarga Rina. Hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko utama kejang demam berulang. Rina juga tidak dikeluhkan sesak napas, muntah, ataupun leher kaku. Keluhan tersebut merupakan tanda kejang demam yang berbahaya.

Bu Santi kemudian menjadi lega ketika dokter juga menjelaskan bahwa sebagian besar kejang demam tidak berbahaya[1] Setelah itu Rina diberi obat batuk serta penurun demam dan kondisinya stabil, dokter detektif patologi kemudian melakukan pemeriksaan lebih teliti. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan saraf tidak menunjukkan adanya kelainan apapun. Tidak ada tanda kelainan otak maupun selaput pembungkus otak (meningen). Saat ini Rina juga sudah sadar dan tenang. Tidak ditemukan bukti kelainan sistemik lain selain tenggorokan Rina yang meradang. Rina memang masih mengeluhkan batuk. 

Setelah itu, dokter detektif patologi melakukan pemeriksaan lab darah untuk mendeteksi infeksi sistemik yang mungkin terjadi. Sel darah putih (leukosit) Rina menunjukkan sedikit peningkatan. Hasil laboratorium gula darah dan elektrolit juga dalam batas normal. Kedua hal tersebut memang dapat menyebabkan munculnya kejang, terutama pada anak-anak. Pada beberapa kondisi, mungkin diperlukan pemeriksaan yang lebih invasif seperti pungsi lumbal jika terdapat kecurigaan terjadinya infeksi selaput pembungkus otak atau meningitis. Pemeriksaan ini juga umum dilakukan bila kejang demam terjadi pada usia bayi muda, yaitu usia kurang dari 1 tahun. Terkadang pemeriksaan radiologis seperti rontgen atau CT-Scan kepala perlu dilakukan. Pemeriksaan rontgen paru pada Rina menunjukkan tidak terdapat infeksi pada saluran napas bawah dan paru-paru Rina.

Menangani Kejang Demam

Setelah periode observasi selama 6 jam di IGD, dokter membolehkan Rina untuk rawat jalan di rumah. Rina diberikan obat antibiotik untuk , penurun demam, dan jadwal kontrol ke dokter spesialis anak seminggu kemudian. Bu Santi juga dibekali obat antikejang oleh dokter. Obat ini digunakan dengan cara dimasukkan melalui anus (per rectal) dan merupakan pertolongan pertama di rumah. Pemberian obat antikejang umumnya cukup efektif untuk menghentikan kejang demam sederhana, dan dapat diulang sekali sebelum anak dibawa ke rumah sakit. Terkadang obat antikejang ini (khususnya jenis Diazepam) diberikan selama demam berlangsung sebagai pencegahan terjadinya kejang. Pengobatan intermitten ini dapat dilakukan selama 2-3 hari atau selama demam. 

Dokter juga menjelaskan penanganan kejang selain pemberian obat kepada Bu Santi dan Asisten Rumah Tangganya. Penanganan tersebut meliputi :

1.    Mengatur posisi anak di lantai ataupun permukaan datar lain. Pastikan tidak ada benda berbahaya yang dapat terjatuh di sekitar anak. Pada bayi, anak dapat dipangku dengan posisi telungkup.

2.    Posisi tubuh dimiringkan agar tidak terjadi sumbatan jalan napas oleh lidah

3.    Longgarkan pakaian anak khususnya pada bagian kerah

4.    Tidak perlu menahan rahang ataupun mulut pasien karena dapat membahayakan.

5.    Amati durasi dan bentukan kejang untuk dilaporkan pada dokter saat berobat. Merekam kejadian kejang dapat menjadi solusi jika sulit mengingat kejadian kejang.

 Kasus Rina berbeda dengan kejang demam kompleks (KDK). Pada KDK, risiko terjadinya kejang demam berulang cukup tinggi sehingga anak umumnya memerlukan rawat inap di rumah sakit. Kontrol dan evaluasi berkala dibutuhkan karena anak dengan riwayat KDK dapat mengalami epilepsi di kemudian hari. Pada kasus KDK, obat antikejang diberikan setiap hari selama jangka waktu tertentu.

Pada akhirnya, kejang demam tidak dapat dicegah. Namun, semua orangtua dapat belajar untuk mengetahui apa yang harus dilakukan bila sang buah hati mengalami kejang demam. Segera konsultasikan ke dokter bila anak anda menderita demam tinggi.

Penanganan awal kejang demam, kita juga bisa!

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved