Mengapa Orang Tua Harus Mulai Bicara Soal Seks dengan Anaknya?
cover Mengapa Orang Tua Harus Mulai Bicara Soal Seks dengan Anaknya?
Pendidikan seksual penting untuk diajarkan sejak dini.
Sudah satu tahun lebih Ayu duduk di jenjang SMP. Seperti anak gadis seumurnya, Ayu sudah mulai mengenal istilah pacaran, membaca novel romansa remaja, dan mengalami sendiri rasa tertarik kepada orang lain. Beberapa minggu terakhir, Ayu menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Dia mulai memperhatikan perubahan-perubahan di badannya. Juga, tanpa dia pahami alasannya, Ayu mulai merasa suka menyentuh kelaminnya sendiri. Suatu hari, saat membaca email-emailnya, dia menemukan sebuah spam berisi tautan yang ternyata membawanya ke sebuah situs porno. Dia kaget dan malu melihat gambar-gambar yang terpampang, tapi juga penasaran. Dia sempat melihat-lihat isi situs itu selama beberapa menit sebelum menutupnya. Sejak saat itu, kepala Ayu dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran. Namun, Ayu merasa tidak ingin menanyakannya kepada ayah dan ibunya. Selain karena rasa malu dan canggung, Ayu juga merasakan takut jika ia ketahuan pernah membuka sebuah situs porno. Ia panik akan dibanjiri pertanyaan oleh orang tuanya mengenai alasan ia melakukan itu.
Kasus seperti yang dialami Ayu umum terjadi. Saat ini, menurut penelitian ditemukan bahwa tingkat pengetahuan remaja Indonesia mengenai seks masih tergolong rendah. Membicarakan informasi mengenai hal yang berbau seks kepada anak-anak sering kali dianggap sebagai hal yang tabu. Banyak orang tua yang merasa enggan membicarakan perkara seks, sementara sang anak memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap hal ini. Beberapa mengabaikan kebutuhan ini dan beberapa hanya membiarkan anak untuk mencari tahu dengan sendirinya ketika beranjak remaja. Padahal informasi yang tidak lengkap dan kurang akurat dapat membawa banyak dampak buruk. Beberapa di antaranya adalah aktivitas seksual yang berisiko tinggi di kemudian hari dapat berakibat pada terjadinya Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan dan seterusnya.
Remaja memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Melarang hubungan seksual sebelum menikah telah terbukti tidak cukup untuk menghindarkan remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa hanya mengajarkan kepada remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai menikah tidak berhasil dalam menurunkan angka kehamilan dan penularan penyakit menular seksual pada remaja. Abstinensia, atau tidak melakukan tindakan hubungan seksual, adalah hal yang baik dalam teori. Namun, dalam praktiknya, tingkat kegagalannya sangat tinggi. Saat ini di Indonesia, menurut data yang dikumpulkan oleh Komnas Perlindungan Anak, hasil survei terhadap siswi SMP/SMA Depok mengatakan 93,7% anak SMP dan SMA mengaku sudah tidak perawan lagi. Dengan demikian, mengkampanyekan abstinensia saja tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan lain untuk dapat menghindarkan remaja dari aktivitas seksual berisiko tinggi.
Perkembangan Seksualitas Remaja
Perkembangan seksualitas dimulai dari kehidupan semasa kehamilan, kelahiran, dan berlanjut hingga masa balita, anak-anak, remaja, dewasa, sampai kematian. Sigmund Freud merumuskan sebuah teori mengenai perkembangan psikoseksual sebagai elemen penting dalam pembentukan kepribadian yang sehat. Perkembangan psikoseksual terjadi dalam 5 tahap, yaitu fase oral, anal, phallic, laten, dan genital.
Fase oral terjadi antara usia 0-1,5 tahun, di mana pada masa bayi mulut memicu kesenangan dengan mencicipi dan menghisap sesuatu, misalnya menghisap jempolnya atau payudara ibu. Selanjutnya adalah fase anal yang terjadi antara usia 1,5-3 tahun, di mana fungsi utama libido terdapat pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Hal ini berkorelasi pada perkembangan di masa ini yaitu, misalnya melatih anak untuk buang air kecil atau besar ke toilet dengan baik. Fase berikutnya adalah fase phallic, yang terjadi antara usia 3-5 tahun. Pada fase ini fungsi libido terletak pada alat kelamin dan anak mulai merasakan kenikmatan yang diasosiasikan dengan genitalianya. Berikutnya adalah fase laten di antara usia 5-12 tahun, di mana anak memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang berbagai hal. Tahap akhir dari psikoseksual adalah fase genital yang dimulai dari usia 12 tahun sampai seterusnya. Pada fase ini seseorang akan mengalami perubahan besar dalam diri dan dunianya, dan mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis.
Masa remaja (10-19 tahun) adalah fase transisi di mana perkembangan seksualitas yang utama terjadi. Pada masa ini, fase pubertas, yaitu, fase ketika kelenjar seksual mulai aktif akan membawa perubahan pada fisik dan emosional seorang anak yang beranjak menjadi remaja. Pada anak laki-laki akan terjadi perubahan fisik seperti pembesaran ukuran penis dan munculnya kumis dan janggut, sedangkan pada perempuan terjadi perkembangan payudara, perubahan genitalia, dan menstruasi. Perubahan emosional yang terjadi meliputi perasaan yang lebih sensitif, pencarian identitas, perubahan mood, dan menyadari perasaan seksual. Masa remaja adalah umur untuk eksplorasi dan memahami seksualitas. Sesuai dengan keadaan biologisnya, para remaja memiliki perasaan ingin tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas.
Analisis Freud menyebutkan bahwa bagian dari perkembangan normal psikoseksual anak meliputi ekspresi dari insting dan impuls seksual anak dalam bentuk pikiran, mimpi, dan perilaku. Freud menjelaskan lebih lanjut bahwa energi yang dimiliki ini tidak dapat dimusnahkan, jika energi tersebut ditekan dan tidak dapat diekspresikan maka hal ini akan berdampak pada perilaku anak tersebut ketika dewasa nanti. Permasalahan yang mungkin muncul adalah anak yang menarik diri dari keluarga. Kegagalan memenuhi ekspresi dapat menimbulkan konflik psikologis ketika dewasa, misalnya perilaku agresif dan brutalitas, impulsif, kekerasan pada hewan, marah yang meledak-ledak, dan toleransi yang rendah terhadap frustasi. Dengan demikian memahami perkembangan seksualitas remaja merupakan hal yang penting. Pemahaman ini dapat membantu kita untuk memahami perilaku dan permasalahan yang ada selama masa remaja.
Orang Tua Malu Bicara Soal Seks, Anak Tersesat
Jika orang tua tidak mengajarkan anak-anak tentang seks, anak akan mencari sumber lain untuk menjawab rasa keingintahuannya. Di tengah maraknya akses informasi melalui internet, anak-anak dapat menemukan informasi yang berhubungan dengan seks dengan mudahnya. Sayangnya, informasi yang diberikan ini sering kali tidak akurat dan berpotensi membahayakan. Dalam absennya sumber informasi yang dapat diandalkan untuk menjawab rasa keingintahuannya, anak dapat mengakses sumber ‘edukasi seksual’ lain yang cenderung lebih mudah dijangkau seperti pornografi. Padahal pornografi dapat mendorong perilaku seksual yang tidak aman pada remaja. Terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa paparan pornografi mempercepat waktu terjadinya hubungan seks yang pertama, terutama pada remaja yang menonton pornografi lebih sering. Selain itu, pornografi dapat mempengaruhi ekspektasi remaja mengenai seks. Pornografi banyak menunjukkan praktik-praktik seks yang tidak umum dan cenderung menyimpang, contohnya adalah hubungan seksual dengan beberapa pasangan atau seks anal. Selain itu, pornografi juga menunjukkan praktik hubungan seksual yang yang tidak aman, seperti tidak menggunakan kondom. Jarak antara ekspektasi dan realita mengenai seks dapat menimbulkan munculnya ketidakpuasan, rasa cemas, dan takut terhadap seks pada mereka yang menontonnya terlalu dini. Apalagi untuk seorang anak yang belum tahu-menahu mengenai seluk beluk seks, paparan pornografi sebagai pintu masuk awal ‘pendidikan seks’ tentunya akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari.
Ketidaktahuan para remaja mengenai risiko seks, ditambah sumber informasi yang tidak tepat tentang seks, serta belum matangnya kemampuan remaja dalam mengambil keputusan akan mendorong remaja untuk mengambil keputusan yang tidak tepat, seperti melakukan hubungan seks yang tidak aman. Hal ini tentunya berisiko tinggi untuk menimbulkan penyakit seksual menular, kehamilan yang tidak diinginkan hingga tindakan aborsi.
Hasil survei kesehatan reproduksi remaja oleh SKRRI tahun 2012 menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai. Hanya 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki berusia 15-19 tahun yang mengetahui dengan benar bahwa seorang perempuan mempunyai peluang untuk hamil apabila melakukan hubungan seks meskipun hanya sekali. Hal ini tentunya berisiko terjadi kehamilan yang tidak diinginkan pada usia dini. Kehamilan usia muda yang tidak diinginkan ini dapat berujung kepada tindakan aborsi yang tidak aman. Mengingat layanan aborsi yang aman sulit diakses untuk semua orang di Indonesia, tindakan aborsi dapat mengancam nyawa. Perempuan kerap menjadi pihak yang paling dirugikan. Siswi hamil sering kali mendapat sanksi dikeluarkan dari sekolah sehingga membuatnya tidak dapat mengakses pendidikan. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja dapat menimbulkan berbagai dampak psikologis. Ia akan merasa sangat kaget, kebingungan, hingga stres dan depresi. Stigma negatif dan tidak adanya pihak yang mendukung menambah permasalahan yang ada. Masa depan dari siswa ini menjadi terancam.
Menolak Membicarakan Seks dengan Anak, Bukanlah Hal yang Bijak
Membicarakan seks kepada anak-anak perlu dimulai sedini mungkin. Pendidikan seks dapat diberikan sesuai dengan usia anak. Dari usia kecil, anak dapat mulai diajarkan mengenai bagian-bagian organ yang disebut intim dan bersifat privat yang sama sekali tidak boleh disentuh oleh orang lain. Anak diajarkan siapa yang mendapat izin untuk membuka bajunya dan bersentuhan dengannya, hingga apa yang harus dilakukan anak ketika ada orang yang ingin mencoba menciumnya. Dengan memberi pendidikan seks, anak dapat melindungi organ intimnya dan tahu bagaimana bentuk interaksi yang sehat dan yang tidak. Percakapan yang dilakukan sejak anak usia dini adalah yang terbaik. Pembicaraan dapat dimulai dengan mengajarkan anak-anak untuk mengenali bagian tubuhnya.
Kita yang sudah dewasa mungkin di masa remaja dulu hanya menerima sedikit atau bahkan tidak sama sekali pendidikan seks dari orang tua kita. Dengan demikian tidak mengherankan jika kita tidak mengetahui apa yang harus diajarkan kepada anak-anak ketika akhirnya kita berada pada posisi orang tua. Tetapi jangan khawatir, saat ini ada banyak sumber yang memberikan panduan mengenai bagaimana seharusnya orang tua dapat mulai membahas topik seks ini pada anak.
Edukasi seks adalah topik yang berat. Baik anak-anak maupun kita sendiri mungkin sering kali akan merasa tidak nyaman ketika membicarakan hal ini. Ketidaknyamanan ini akan semakin bertambah bila orang yang lebih tua memosisikan dirinya lebih superior dan cenderung memberi tahu dengan nada menggurui. Hal ini akan membuat anak semakin enggan untuk berbicara dengan orang dewasa khususnya, orang tua. Apalagi pada fase remaja ini, kepercayaan remaja lebih tinggi pada teman sebayanya daripada dengan orang tuanya. Memang tidak mudah untuk menempatkan diri sebagai teman bicara yang setara, tapi hal ini bukan tidak mungkin dilakukan.
Membicarakan Seks akan Mendorong Anak Memilih Keputusan yang Lebih Bijak
Seks merupakan bagian dari kehidupan yang alamiah. Dengan atau tanpa edukasi seksual yang memadai, aktivitas-aktivitas seksual akan terjadi. Hanya karena kita menolak untuk membicarakan mengenai seks, bukan berarti hal itu akan pergi begitu saja. Faktanya, dengan membicarakan seks secara terbuka akan mendorong anak untuk memilih keputusan yang lebih bijak dan bertanggung jawab. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa mengetahui informasi yang lengkap mengenai seks akan menunda hubungan seks pertamanya. Edukasi mengenai seks tidak mendorong para remaja untuk berhubungan seksual, justru sebaliknya.
Membicarakan seks masih dianggap tabu oleh sejumlah besar masyarakat Indonesia, padahal ada banyak manfaat pendidikan seks dini untuk para remaja. Kita perlu memiliki sikap yang tidak berjarak terhadap seksualitas, terbuka untuk belajar berkomunikasi, tidak hanya memberikan informasi yang sifatnya menyuruh dan menggurui, tetapi juga mau mendengarkan pendapat anak, menstimulasi keingintahuan dan pertanyaan-pertanyaan dari anak/remaja, dan berusaha untuk memposisikan diri sebagai teman anak/remaja dalam membuat keputusan seksual yang bertanggung jawab.
Untuk lebih lanjut memahami miskonsepsi dan fenomena seputar pendidikan seksual, dapat disimak diskusi menarik antara Relatif Perspektif dengan dr. Darell Fernando Sp.OG di dalam episode NEWS RESPONSE EPISODE: Miskonsepsi Kehamilan dan Fenomena Gunung Es Rendahnya Sex Education pada tautan berikut ini. [SPS]
Gambar disadur dari: unsplash.com dan pexels.com
Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis
Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?
Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana
Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.
Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?
“Climate change is first and foremost a health crisis”