beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Masyarakat
/
Kanta 360

Problematika Paspor Vaksin

Apr 14, 2021
/
8 min read
cover article

cover Problematika Paspor Vaksin

Intro
Pencatatan riwayat vaksinasi dalam paspor bukan hal baru, tapi di tengah akses vaksin COVID-19 yang belum seragam di seluruh dunia, bagaimana seharusnya?

Pembaca Relatif Perspektif mungkin akhir-akhir ini kerap mendengar berita mengenai “Paspor Vaksin COVID-19” di media. Berbagai negara di seluruh belahan dunia sedang berlomba menggodok aturan paspor vaksin yang digadang-gadang akan menjadi momentum kembalinya kehidupan yang “normal”. Namun, Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization [WHO]) sejauh ini belum menyetujui rencana ini. Dr Mike Ryan, Kepala Health Emergencies Programme WHO, mengangkat isu ketimpangan akses terhadap vaksinasi sebagai salah satu pertimbangan.

Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan “Paspor Vaksin COVID-19”? Siapa yang akan memberlakukan aturan tersebut, dan bagaimana? Apa saja perspektif dari sains, hukum, dan etika yang perlu kita perhatikan?

Konsep Paspor Vaksin COVID-19

Pencatatan vaksinasi sebagai syarat untuk keluar-masuk batas negara bukanlah barang baru. Sejak akhir abad ke-19, bukti vaksinasi cacar diwajibkan di berbagai pelabuhan utama di Amerika Serikat. Sejak tahun 1930-an, WHO menerbitkan “kartu kuning” (carte jaune), yaitu sertifikat internasional yang berlaku sebagai bukti vaksinasi demam kuning, kolera, tifus, dan cacar. Untuk memasuki Saudi Arabia untuk mengikuti program haji dan umrah, wisatawan diwajibkan untuk memiliki bukti vaksinasi demam kuning, meningococcal meningitis, polio, dan seasonal influenza. Namun, saat ini satu-satunya penyakit yang disebut secara eksplisit dalam International Health Regulations (IHR) membutuhkan bukti vaksinasi untuk pejalan internasional adalah demam kuning (yellow fever).

Lebih jauh lagi, bukti vaksinasi dapat menjadi syarat untuk mengakses layanan publik tertentu. Di berbagai negara, seorang anak disyaratkan untuk memiliki bukti vaksinasi sebelum masuk sekolah, dan berbagai universitas mewajibkan mahasiswanya untuk mendapatkan vaksin influenza. Berbagai tempat kerja pun, terutama di sektor kesehatan dan keperawatan, mewajibkan pekerjanya untuk mendapatkan vaksin tertentu untuk melindungi pasien. 

Berkaca dari berbagai contoh tersebut, bagaimanakah konsep paspor vaksin COVID-19 yang ramai dibicarakan ini?

Secara umum, pemegang paspor COVID-19 akan diizinkan mengakses tempat atau layanan tertentu. Mereka dapat diperbolehkan bepergian di dalam maupun luar negeri, kembali bekerja, atau mengunjungi ruang-ruang publik yang sebelumnya dibatasi untuk mencegah penularan COVID-19. Pada dasarnya, paspor vaksin memungkinkan pemegangnya untuk menjalani hidup “normal” kembali, bukan hanya untuk melintasi batas-batas negara. Para pelaku usaha yang telah terdampak berat oleh COVID-19 tentu menyambut hal ini.

Paspor vaksin dapat berbentuk digital yang dapat diakses melalui smartphone. Agar tetap dapat menjangkau mereka yang tak menggunakan teknologi terbaru, paspor vaksin diharapkan juga dapat dicetak menjadi paspor kertas, seperti paspor yang selama ini kita kenal.

Janji dan potensi yang ditawarkan paspor vaksin menarik perhatian sederetan pemimpin dunia. Perdana Menteri UK, Boris Johnson, telah memerintahkan peninjauan kebijakan paspor vaksin. Ursula von der Leyen, Presiden dari European Commission, pun menginginkan adanya kebijakan sertifikat COVID-19 digital (“Digital Green Certificate) sebagai “langkah yang bertahap dan aman untuk membuka kehidupan”. Israel bahkan telah memberlakukan aplikasi green pass yang memperbolehkan warga untuk mendatangi gym, konser musik, bioskop, dan hotel untuk berlibur. Cina pun telah mengeluarkan paspor vaksin internal. Namun, tak semua langsung tergiur oleh pesona paspor vaksin. Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Biden mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengeluarkan kewajiban Paspor Vaksin COVID-19 di tingkat federal

Paspor vaksin tak hanya menjadi urusan pemerintah. Kebijakan ini pun menjadi sorotan operator perjalanan swasta, seperti British Airways. Agen asuransi perjalanan juga dapat memberlakukan premium asuransi yang lebih tinggi bagi mereka yang belum divaksin.

Tepatkah secara Sains dan Teknologi?

Pembahasan efektivitas paspor vaksin tentu perlu diawali dengan pembahasan efektivitas vaksin COVID-19 itu sendiri. Saat ini sudah terdapat berbagai jenis vaksin yang secara umum terbukti aman dan efektif mencegah penyakit COVID-19, khususnya yang derajat berat. Namun, para ilmuwan dan pemegang kebijakan harus terus mengevaluasi dan melengkapi pengeahuan mereka mengenai vaksinasi COVID-19, seperti keampuhannya terhadap virus yang telah bermutasi, jangka waktunya perlindungan vaksin, dan perlunya dosis tambahan (booster). WHO pun terus memantau efektivitas vaksin COVID-19 dalam memutus mata rantai penularannya. 

Situasi inilah yang mendasari pertanyaan mengenai efektivitas paspor vaksin COVID-19 untuk menjamin kehidupan yang normal tanpa kembali meningkatkan jumlah kasus. Apalagi jika perjalanan internasional kembali marak seperti sediakala. Diperlukan data dan pertimbangan yang cermat agar paspor vaksin benar-benar berperan mencegah penularan, dan bukan memberikan rasa aman yang palsu sehingga pemegangnya cenderung mengabaikan protokol pencegahan COVID-19.

Dari segi teknologi, masih terdapat banyak tantangan dalam pemberlakuan paspor vaksin, seperti kemungkinan terjadinya penipuan, pemalsuan paspor vaksin, dan kebocoran data pribadi. Bagi yang akrab dengan sisi gelap internet, saat ini sudah terdapat penjualan sertifikat vaksin COVID-19 palsu, yang dipatok harga 150 dolar AS (2,2 juta rupiah). Di Israel, QR Code yang ada dalam “Green Pass” terhubung langsung dengan data nama, nomor identitas, dan detail vaksinasi tanpa terenkripsi sehingga mudah dipalsukan. 

Pemberlakuan paspor vaksin pun dikhawatirkan dapat memicu menguatnya keraguan beberapa kelompok masyarakat untuk menerima vaksin (vaccine hesitancy). Meski dapat dibayangkan bahwa paspor vaksin dan janji kehidupan normal dapat meningkatkan minat warga untuk divaksin, masih banyak isu yang turut memengaruhi vaccine hesitancy, seperti rendahnya kepercayaan pada otoritas, termasuk pemerintah. Pada mereka yang terlanjur memiliki persepsi negatif mengenai vaksin dan otoritas, kewajiban vaksinasi justru dapat memperkuat penolakan. Para penyebar berita palsu antivaksinasi pun telah membanjiri media sosial dengan isu-isu tak berdasar mengenai vaksinasi COVID-19

Dengan serangkaian pertimbangan tersebut (yang tentunya baru sebagian kecil dari rumitnya kebijakan vaksinasi), maka kita perlu mengawal kebijakan pemerintah secara kritis. Apakah Indonesia akan memberlakukan paspor vaksin COVID-19? Jika ya, akses apa yang akan diberikan pada para pemegang paspor vaksin? Bagaimana bentuk paspor vaksin yang akan diberlakukan? Apa dampaknya bagi mereka yang belum divaksin atau tidak dapat divaksin?

Apabila paspor vaksin akan berbentuk digital, pengembangnya perlu menciptakan sistem yang aman dengan menghargai privasi dan kebebasan pribadi semaksimal mungkin. Demi mencegah ketimpangan, paspor vaksin digital pun harus dapat diakses oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat. Kita tahu bahwa tingkat melek teknologi masyarakat Indonesia sangat bervariasi, belum lagi banyaknya ragam gadget yang digunakan. Pemberlakuan paspor vaksin juga menuntut persiapan komunikasi publik yang tepat sasaran untuk mencegah pemanfaatan isu ini oleh kelompok-kelompok antivaksinasi yang dapat menimbulkan kekhawatiran masyarakat.

Memastikan Akses yang Adil bagi Setiap Orang

Di luar isu-isu teknologi tersebut, penerapan paspor vaksin harus menjawab salah satu tantangan yang paling mendasar: apakah konsep paspor vaksin merupakan sesuatu yang etis? Ketika paspor vaksin menjadi kunci untuk memasuki dunia yang “normal”, bagaimana pemerintah dapat menjamin akses vaksin dan paspor vaksin yang adil, sehingga tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Ketimpangan akses vaksin tentu dapat kembali memperlebar ketimpangan sosioekonomi yang sudah ada di masyarakat.

Di tengah gencarnya vaksinasi COVID-19, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah-rendah masih kesulitan mendapatkan vaksin untuk diberikan pada warga negaranya. Laporan Oxfam berdasarkan data World Bank menunjukkan bahwa sejak awal 2021, vaksinasi di negara berpendapatan tinggi dapat mencapai rata-rata laju satu dosis vaksin per detik. Sementara itu, mayoritas dari 79 negara berpendapatan rendah dan rendah-menengah hingga saat ini belum dapat memvaksinasi siapapun. Tak hanya itu, di negara dengan angka vaksinasi yang tinggi pun terdapat kelompok masyarakat atau wilayah geografis yang belum mendapatkan cakupan vaksin secara optimal, terutama di antara penduduk minoritas, terlebih lagi pengungsi dan pencari suaka. Skema global COVID-19 Vaccine Global Access (COVAX) bahkan hanya memasang target memvaksinasi 20% penduduk termiskin di dunia sebelum tahun 2022. Padahal, COVAX diinisiasi oleh negara-negara G20 dan dibentuk oleh WHO, The Vaccine Alliance (GAVI), dan the Coalition for Epidemic Preparedness Inovations (CEPI), dengan bantuan dana dari negara-negara maju.

Di Indonesia, Satgas Penanganan COVID-19 mencatat bahwa hingga 12 Maret 2021, 3,7 juta orang telah menerima vaksin COVID-19, dari sekitar 172 juta penduduk dewasa. Angka ini tentunya belum seberapa bila dibandingkan dengan negara maju seperti Inggris, yang telah memvaksinasi lebih dari 32 juta penduduk, dari 50 juta penduduk dewasa, serta Amerika Serikat, yang telah memvaksinasi lebih dari 120 juta penduduk. Dari angka kasar ini kita dapat melihat bagaimana paspor vaksin dapat menghambat mobilitas dan partisipasi sosial negara-negara berkembang di tingkat global. 

Dalam lingkup yang lebih kecil, jika kebijakan paspor vaksin diterapkan, individu yang tidak mendapat vaksin COVID-19 akan terus hidup dalam keterbatasan mobilitas sosioekonomi. Padahal, status belum divaksinasi itu belum tentu disebabkan penolakan atau sikap antivaksinasi. Jelas kita tahu bahwa terdapat kelompok orang yang tidak dapat divaksinasi karena kondisi kesehatannya. Selain itu, infrastruktur vaksinasi belum tersebar merata sehingga cakupan vaksinasi pun masih timpang. Perlu diingat bahwa ketimpangan ini lebih banyak dirasakan oleh mereka yang berada dalam kelompok marjinal. Konsekuensinya, mereka yang sebelum pandemi sudah tertindas, akan semakin termarjinalkan oleh kebijakan yang tidak dipertimbangkan dengan baik.

Simpulan

Apapun pendapat kita mengenai paspor vaksin, mayoritas tentunya menghendaki kembalinya hidup yang normal layaknya sebelum pandemi. Vaksinasi telah hadir, membawa kita memasuki tahap baru penanggulangan pandemi. Namun, seperti kebijakan publik manapun, pemberlakuan paspor vaksin sebagai syarat mengakses hidup normal dapat memiliki efek samping yang tidak kecil. Mereka yang termarjinalisasi dan terpinggirkan dapat semakin tersingkirkan bila isu ketimpangan akses vaksin tidak dibereskan terlebih dahulu. Di saat masyarakat harus berjibaku dengan sulitnya hidup di masa pandemi dan derasnya arus misinformasi, para pembuat kebijakan, khususnya pemerintah, harus cermat memilih langkah kebijakan yang berlandaskan bukti ilmiah, mempertimbangkan dampak sosioekonomi secara luas, dan berhati-hati untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat.

Citta Widagdo adalah Peneliti Doktoral di bidang Hukum Kesehatan Publik, University of Birmingham Law School.

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved