Tempat Tinggal dan Kesehatan Manusia
cover Tempat Tinggal dan Kesehatan Manusia
Tempat tinggal adalah salah satu komponen penting kesehatan manusia
Tempat Tinggal sebagai Bagian dari Kesehatan Manusia
Ketika membahas tentang permasalahan kesehatan manusia, seringkali kita hanya memikirkan tentang distribusi tenaga kesehatan, ketersediaan obat dan alat kesehatan, atau kebijakan dan pembiayaan layanan. Mungkin kita juga sering membahas pengaruh gaya hidup dan perilaku individu, seperti asupan nutrisi dan aktivitas fisik. Memang, hal-hal tersebut relatif dekat dengan topik kesehatan, tapi ternyata belum bisa menggambarkan situasi kesehatan secara lengkap.
Manusia dan kesehatannya tentu menempati dan terus dipengaruhi oleh ruang fisik di Bumi ini. Henrik L. Blum, seorang pionir dalam ilmu kesehatan masyarakat, mengembangkan model determinan kesehatan untuk memahami kesehatan manusia secara lebih utuh. Menurutnya, lingkungan fisik merupakan salah satu dari empat faktor besar yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, selain gaya hidup, genetika, dan sistem kesehatan. Keempat faktor ini tidak berdiri sendiri, tapi berinteraksi satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, demam berdarah dengue jelas disebabkan oleh virus dengue. Akan tetapi, risiko seseorang tertular pastinya turut dipengaruhi situasi tempat tinggalnya dan perilaku kesehatannya sebagai bagian dari gaya hidup.
Tak heran World Health Organization (WHO) menyebut lingkungan fisik sebagai salah satu faktor penentu alias determinan kesehatan. Akses terhadap air bersih, udara yang sehat, komunitas yang aman, hingga tempat kerja yang sehat berkontribusi terhadap kesehatan manusia. Faktor yang terdekat dengan kita, sekaligus tak boleh dilupakan, adalah faktor lingkungan fisik di tempat tinggal. Kita menghabiskan sekian banyak waktu di rumah dengan berbagai aktivitas, tentu dampaknya pada kesehatan kita tidak dapat dilupakan begitu saja. Di mana dan bagaimana kita tinggal dapat menentukan taraf kesehatan kita.
Tempat Tinggal dan Risiko Kesehatan
Di Indonesia, salah satu permasalahan kesehatan yang terkait dengan tempat tinggal adalah infeksi tuberkulosis (TB). Data Pusdatin Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan pada tahun 2014 prevalensi TB di Indonesia mencapai 297 kasus per 100.000 penduduk sehingga menjadi prioritas utama pemerintah selain angka stunting dan imunisasi.
Kualitas tempat tinggal merupakan salah satu determinan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini. Rumah yang tidak mendapatkan sinar matahari secara adekuat menjadi faktor risiko penularan TB, apalagi bila penghuninya memang sudah terinfeksi dan tidak melakukan upaya pencegahan. Hal ini menunjukkan pentingnya sumber cahaya ketika memiliki tempat tinggal. Selain sumber cahaya, ventilasi juga menjadi hal penting pada tempat tinggal. Studi lainnya menunjukkan bahwa kejadian TB dapat dikontrol dengan meningkatkan ventilasi di dalam rumah.
Source: unsplash
Faktor ventilasi pun berkaitan dengan beberapa penyakit tidak menular (non-communicable disease/NCDs) seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis. Kondisi kesehatan mereka sangat berkaitan dengan kualitas udara lingkungan, dan rumah tanpa ventilasi yang baik tentunya memiliki kualitas udara yang kurang baik juga.
Kualitas tempat tinggal tak hanya ditentukan oleh fisiknya dan isi ruangannya. Kepadatan penduduk di daerah tempat tinggal tampak juga berkaitan dengan taraf kesehatan manusianya. Dalam episode podcast Relatif Perspektif bersama Andi Asnifatima, SKM., M. Kes., kepadatan penduduk disebut dapat meningkatkan risiko penularan penyakit seperti DBD, tuberkulosis, atau diare. Namun, tak semua penyakit mengikuti pola tersebut: dalam pandemi COVID-19, kepadatan penduduk malah hampir tidak memiliki hubungan dengan tingkat kasus COVID-19 dan kematian. Fenomena ini kembali mengingatkan bahwa determinan kesehatan akan selalu berinteraksi satu sama lain dalam menentukan luaran kesehatan.
Seperti Apa Tempat Tinggal yang Ideal?
Kita dapat melihat tempat tinggal sebagai sebuah habitat. Tempat tinggal sebagai habitat telah lama diteliti dalam ilmu perilaku. Habitat yang baik setidaknya memiliki privasi, mendukung aktivitas fisik rutin, menjaga hubungan dengan alam, menumbuhkan rasa sebagai anggota komunitas (sense of community), memberikan stimulasi sensorik yang bervariasi (cahaya, temperatur, dan suara), serta memberikan rasa kontrol terhadap lingkungan sekitarnya.
Desain tempat tinggal dapat mendukung terbentuknya rumah sebagai habitat yang ideal. Sebuah studi menunjukkan bahwa renovasi atau modifikasi perumahan, suhu yang tepat, serta perbaikan pada suplai air dan ventilasi berhubungan dengan luaran yang berkaitan dengan kesehatan pernapasan, kesehatan jiwa, dan kualitas hidup secara umum. Contohnya, renovasi dapur, kamar mandi, dan pintu depan rumah dapat berhubungan positif dengan kesehatan mental. Lalu, kelembapan yang disebabkan kurangnya ventilasi atau pengaturan suhu disebut meningkatkan kemungkinan penyakit pernapasan akut.
Kesempatan menikmati alam pun turut mempengaruhi kesehatan. Studi di rumah sakit menemukan hubungan antara melihat pepohonan dari ruang rawat dengan proses penyembuhan pasca-operasi. Pada konteks tempat kerja, keberadaan tumbuhan dalam sebuah ruangan tanpa jendela pun turut menghasilkan luaran yang lebih baik, seperti pekerjaan terkomputerisasi yang diselesaikan dengan lebih cepat, lebih perhatian, dan tekanan darah yang lebih rendah.
Source: unsplash
Apa yang Dapat Dilakukan?
Lalu bagaimana jika kita hidup dalam tempat tinggal yang belum ideal?
Jika kita bicara secara realistis, sepertinya tidak ada tempat tinggal yang dapat disebut “ideal”. Dalam memilih atau merancang tempat tinggal tentu banyak faktor yang harus diseimbangkan, apalagi dengan sumber daya yang terbatas. Namun, meski kita tak bisa mencapai tempat tinggal ideal, bukan berarti kita tak bisa berusaha. Kita dapat memperhatikan keberadaan sumber pencahayaan, sistem ventilasi, sumber air bersih, pembuangan limbah, atau koneksi dengan alam sekitar.
Selain itu, kita kembali pada kenyataan bahwa kualitas tempat tinggal bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kesehatan manusia. Kalaupun masih terdapat kekurangan pada tempat tinggal, hal ini justru seharusnya menjadi motivasi bagi kita untuk menggenjot perilaku sehat lainnya: berolahraga, makanan yang bergizi seimbang, tidak merokok, juga membatasi konsumsi alkohol.
Untuk mencapai kesehatan, tentunya tempat tinggal tak boleh dilupakan. Tetapi, upaya menciptakan tempat tinggal yang sehat juga tak bisa bergantung hanya pada individu semata. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya juga perlu membuat kebijakan yang mendukung penyediaan tempat tinggal yang berkualitas secara merata. Kebijakan tata ruang dan habitat manusia adalah kebijakan kesehatan.
Simak diskusi menarik terkait rumah, lingkungan, dan kesehatan bersama Andi Asnifatima, SKM., M. Kes. dan Relatif Perspektif di sini.
Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis
Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?
Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana
Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.
Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?
“Climate change is first and foremost a health crisis”