beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Seri Detektif Patologi
/
Kesehatan Pernapasan
/
Penyakit Menular

Tuberkulosis dan COVID-19: Serupa Tapi Tak Sama

Mar 28, 2021
/
8 min read
cover article

cover Tuberkulosis dan COVID-19: Serupa Tapi Tak Sama

Intro
Keluhan batuk tidak melulu bermakna COVID-19, bisa saja tuberkulosis.

KASUS

Seorang pria, Andi, 50 tahun datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan batuk-batuk yang berlangsung selama lebih dari 2 minggu. Dadanya pun terasa sakit luar biasa ketika batuk. Dia mengeluhkan perasaan nyeri dan pegal di tubuhnya. Padahal, tidak ada aktivitas berat yang dilakukannya. Kesibukannya sehari-hari hanyalah mengurus warung depan rumah. Belakangan ini, dia merasa malas makan, tubuhnya pun terasa lemas. Dia pun sering merasa kelelahan. “Apakah batuknya berdahak?”, tanya Dokter. Pria itu pun menjawab, “Iya, dok. Bahkan sesekali keluar bercak darah. Saya sudah minum obat batuk tapi kok tidak sembuh-sembuh.”. “Dok, saya nggak terinfeksi COVID-19, kan?”, tanyanya panik.

Batuk dan COVID-19

Kekhawatiran seperti yang dialami Andi memang sangat banyak diadukan oleh masyarakat kepada dokter belakangan ini. Keluhan saluran napas seyogyanya memerlukan kewaspadaan dan penanganan khusus di era pandemi COVID-19 ini. Hal ini tentunya disebabkan karena penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab infeksi COVID-19 yang sudah meluas dan belum terkontrol hingga saat ini di Indonesia. COVID-19 memiliki spektrum keluhan yang bervariasi dan menyerupai banyak penyakit lain, sehingga harus selalu dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan pernapasan, terutama di masa pandemi. 

Di sisi lain, tidak semua keluhan batuk diakibatkan oleh COVID-19 yang notabene disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi mikroorganisme lain seperti jamur, parasit, dan yang paling sering ditemui yaitu bakteri juga dapat menyebabkan keluhan batuk. Hal ini tidak lain disebabkan karena batuk sendiri sesungguhnya merupakan refleks tubuh yang terbentuk ketika ada rangsangan pada reseptor saluran napas. 

Rangsangan batuk dapat dimunculkan oleh berbagai faktor, misalnya adanya paparan iritan (debu, gas, dan lain-lain), benda asing yang masuk ke saluran napas (kelereng, makanan, dan lain-lain), reaksi alergi, kanker/keganasan, kelainan jantung dan pembuluh darah, serta infeksi saluran napas dan paru-paru. Menyingkirkan kemungkinan penyebab-penyebab lain ini melalui riwayat keluhan (anamnesis) maupun pemeriksaan fisik akan dilakukan oleh dokter sebelum mencurigai batuk terjadi karena proses infeksi. 

Salah satu penanda bahwa penyebab keluhan pernapasan terjadi akibat infeksi adalah naiknya suhu tubuh pasien (demam). Tanda lainnya adalah batuk berdahak (disebut juga mukopurulen) yang menandakan kelainan terjadi pada saluran napas bagian bawah atau paru-paru. Batuk karena infeksi juga biasanya terjadi secara terus menerus dan tidak berhubungan dengan paparan zat tertentu, serta kemungkinan akan ditemukan keluhan sistemik lain, misalnya nyeri dada atau badan, _fatigue/**_lemah**, rasa tidak nyaman saat menelan, kesulitan bernapas, hingga gangguan pencernaan.

Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah infeksi yang terjadi merupakan infeksi akibat bakteri atau virus, yang dapat diketahui menggunakan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah, rontgen X-Ray, maupun deteksi molekuler. Secara klinis, COVID-19 biasanya juga akan menimbulkan keluhan dan tanda seperti batuk, demam, hilangnya indra penciuman atau indra perasa, kelelahan, nyeri otot, dan lain-lain yang bersifat akut, artinya keluhan terjadi atau baru berlangsung selama jangka waktu kurang dari 7 hari.

COVID-19 juga dicurigai jika terdapat kriteria epidemiologis, misalnya riwayat bekerja di tempat dengan risiko tinggi penularan COVID-19, riwayat bepergian/tinggal di wilayah transmisi lokal COVID-19, ataupun riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan dokter memutuskan tetap melakukan pemeriksaan penunjang spesifik seperti rapid test ataupun Swab RT-PCR jika pemeriksaan fisik dan riwayat mengarah pada infeksi COVID-19. Pada kasus Andi, pemeriksaan baik fisik maupun laboratoris yang telah dilakukan menunjukkan hasil negatif.

Jadi, keluhan Andi berdasarkan keluhan dan tanda yang ditemui serta pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan mengarah pada p_enyakit pernapasan lain yang juga sering ditemukan di Indonesia_, yaitu Tuberkulosis paru.

Mengenal Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah infeksi yang diakibatkan mikroba Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki dinding sel yang tebal dan tahan asam serta tidak mudah hancur terhadap berbagai kondisi fisis maupun kimiawi, sehingga infeksinya tidak mudah disembuhkan. Peperangan terhadap infeksi mikroba ini sudah sejak lama dihadapi umat manusia, karena infeksinya dapat ditelusuri bahkan hingga zaman neolitikum dan mesir kuno pada 2000-4000 tahun SM. 

Infeksi bakteri Tuberkulosis sebagian besar menyerang paru-paru namun dapat menyerang hampir seluruh organ tubuh lain seperti otak dan sumsum tulang belakang, saluran limfe, pencernaan, saluran kemih, tulang, sendi, bahkan kulit. Transmisi berlangsung ketika droplet/percikan ludah pasien yang terinfeksi terinhalasi oleh orang dengan imunitas rendah. Terdapat beberapa faktor risiko penularan tuberkulosis paru yang telah diidentifikasi, yaitu : 

  • Tingginya konsentrasi mikroba yang terhirup (lebih tinggi pada batuk berdahak atau berdarah dari pasien tuberkulosis paru aktif yang belum diobati)
  • Lamanya kontak dengan sumber penularan
  • Daya tahan tubuh yang rendah
  • Faktor lingkungan seperti ventilasi dan sirkulasi udara, paparan sinar ultraviolet, dan lain-lain

Bagaimana Diagnosis Tuberkulosis Paru Ditegakkan?

Menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI, diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan ketika ditemukan tanda utama infeksi tuberkulosis pada riwayat penyakit, seperti batuk berdahak/berdarah yang telah berlangsung minimal 2 minggu, keringat malam hari, demam hilang-timbul, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Selain itu, keluhan malaise, yaitu lemah badan, hilangnya nafsu makan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan lain-lain juga sering dikeluhkan pasien. Keluhan-keluhan ini makin lama terasa makin berat dan tanpa pengobatan dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) biasanya tidak membaik atau hanya membaik sementara dengan pemberian obat batuk atau demam biasa.

Jika penyakit sudah berkembang lebih lanjut, pasien terkadang merasakan sesak napas terutama jika infeksi sudah meluas meliputi setengah bagian paru-paru. Nyeri dada juga terkadang dikeluhkan pasien jika peradangan telah mencapai membran pembungkus paru (pleura, karena itu disebut pleuritis tuberkulosis). Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan kelainan suara napas pada bagian atas paru. Namun, perlu diingat bahwa terkadang infeksi tuberkulosis Paru tidak menunjukkan keluhan apapun (asimtomatik) sehingga penyakit ini paru dicurigai ketika terdapat kelainan pada pemeriksaan X-Ray dada ataupun tes darah dan molekular.

Diagnosis penyakit dapat semakin mengarah ke tuberkulosis Paru dengan dilakukannya prosedur rontgen atau X-ray dada. Terkadang pemeriksaan radiologis lebih canggih seperti menggunakan CT-Scan ataupun MRI perlu dilakukan bila tidak didapatkan gambaran jelas pada rontgen dada. Selanjutnya, diagnosis tuberkulosis Paru dapat ditegakkan dengan dilakukannya pemeriksaan sputum atau dahak. Pemeriksaan ini merupakan yang paling lazim dilakukan dalam diagnosis dan evaluasi pengobatan pasien tuberkulosis karena paling luas tersedia dan mudah dilakukan.

Di Indonesia, umumnya Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan Kesehatan primer mampu melakukan uji sputum untuk tuberkulosis. Sampel dahak pasien terduga tuberkulosis juga dapat dikirim ke fasilitas Kesehatan lanjutan (Lab atau rumah sakit) untuk dilakukan pemeriksaan biakan bakteri ataupun tes cepat molekuler (dikenal juga dengan tes GeneXpert). Pada anak-anak, pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah tes tuberculin/tes Mantoux. Tes ini mendeteksi infeksi aktif ataupun riwayat infeksi mikroba tuberkulosis.

Pengobatan Tuberkulosis Paru

Tidak seperti infeksi COVID-19 yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, tuberkulosis paru dapat diobati dengan menggunakan antibiotik khusus mikroba tuberkulosis. Ada banyak macam antibiotik khusus tuberkulosis ini dan biasanya dikenal dengan istilah OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

Pengobatan tuberkulosis paru di Indonesia saat ini dilakukan sesuai Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Pengobatannya memerlukan kedisiplinan dan kepatuhan berobat pasien karena jangka pengobatan yang lama dan jenis obat yang beragam. Sebelum menentukan strategi pengobatan pada pasien, dokter akan menentukan klasifikasi tuberkulosis pasien berdasarkan riwayat pengobatan tuberkulosis, derajat penyakitnya, serta apakah infeksi TB telah terjadi di luar paru-paru.

Jangka waktu pengobatan bervariasi mulai 6 bulan pada tuberkulosis paru hingga 1.5 tahun pada tuberkulosis berat. Umumnya untuk pasien baru terdiagnosis tuberkulosis, ada 4 macam obat yang harus diminum setiap hari selama jangka waktu 2 bulan (disebut fase intensif), dan dilanjutkan 2 macam obat selama jangka waktu 4 bulan (disebut fase lanjutan). Untuk memudahkan pasien mengonsumsi obat tuberkulosis, OAT di Indonesia telah dikemas dalam bentuk sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) sehingga pasien hanya perlu mengonsumsi 1 jenis obat yang di dalamnya berisi kombinasi obat OAT.

Bagaimana Cara Pencegahannya?

Potensi infeksi mikroba tuberkulosis dapat diminimalisir dengan melakukan beberapa pencegahan, seperti :

  • Kewaspadaan kontak: menghindari kontak langsung/berdekatan dengan penderita tuberkulosis yang belum berobat. Karena itu, bila keluarga atau rekan kerja anda menderita keluhan yang mengarah ke penyakit tuberkulosis, segera sarankan untuk berobat ke dokter. Hal ini penting untuk mencegah penularan penyakit kepada orang-orang di sekitarnya, terutama yang memiliki imunitas lemah atau anak-anak
  • Kepatuhan berobat: Meminum obat secara teratur dan sampai selesai (komplit) sesuai petunjuk dokter. Hal ini penting dilakukan karena dengan konsumsi obat sesuai arahan dokter, infeksi TB tidak lagi menular setelah 2-3 minggu pengobatan. Konsumsi obat juga penting untuk mencegah kekambuhan infeksi (**_relaps_)**
  • Menjaga daya tahan tubuh: selalu konsumsi makanan bergizi seimbang, perbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan, serta berolahraga teratur
  • Pengaturan tempat tinggal dan kantor: Memastikan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik di tempat aktivitas kita akan mengurangi potensi paparan terhadap mikroba tuberkulosis, terutama di wilayah padat penduduk.
  • Vaksinasi: Vaksinasi BCG penting dilakukan pada anak berusia di bawah 3 bulan. Hal ini untuk mencegah terjadinya infeksi tuberkulosis berat di usia anak-anak

Tuberkulosis Paru sampai saat ini merupakan salah satu penyakit menular dengan beban kesehatan terberat di negeri ini. Indonesia pada tahun 2020 merupakan negara ketiga dengan penderita tuberkulosis terbanyak setelah India dan China, dengan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia mencapai 845 ribu orang. Banyak di antaranya belum terdeteksi dan tidak mendapat pengobatan yang memadai. Mari berpartisipasi dalam pembangunan kesehatan negara dengan turut menyebarkan edukasi tentang penyakit tuberkulosis.

Gambar disadur dari medlife.com

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved