Eps. Spesial Hari TB Sedunia 2021: Dilema Tuberkulosis di Masa Pandemi
putar audio podcast Eps. Spesial Hari TB Sedunia 2021: Dilema Tuberkulosis di Masa Pandemi
cover podcast Eps. Spesial Hari TB Sedunia 2021: Dilema Tuberkulosis di Masa Pandemi
Mutasi tidak hanya dilakukan oleh kuman TBC, tapi kita juga harus ikut 'bermutasi' ke arah yang lebih baik demi keberhasilan penanggulangan TBC
Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC menjadi sangat dikenal di Indonesia dengan kasus penyebaran yang sangat tinggi. Pandemi Covid-19 membawa kerisauan tersendiri bagi pasien TBC di Indonesia. Kerisauan ini dinilai turut berdampak pada keengganan pasien TBC untuk berobat ke rumah sakit hingga menurunnya temuan kasus baru TBC. Berbagai dilema sedang kita hadapi, mulai dari layanan, pelaporan, diagnosis, hingga penanganan dan pengobatan TBC di masa pandemi. Berbagai upaya sebaiknya kita lakukan untuk tetap waspada terhadap penyakit menular yang menyumbang banyak angka kematian di Indonesia ini.
Pendahuluan
Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit paru-paru yang disebabkan oleh bakteri yang unik, yang memerlukan pengobatan yang rumit dan panjang. Penyakit TBC sudah bertahun-tahun menjadi momok di Indonesia, bahkan estimasi kasus TBC sekitar 845.000 kasus di Indonesia, angka kematian 13 orang per jam yang meninggal akibat TBC. Pandemi COVID-19 menjadi beban yang lebih terhadap penanganan TBC di Indonesia.
Bagaimana Kondisi Kasus TBC di Era Pandemi Sekarang?
Dari laporan Kementerian Kesehatan, saat ini temuan kasus TBC berkurang khususnya di tahun 2020 dan keberhasilan pengobatan turun di era pandemi. Orang-orang yang bergejala TBC takut memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular COVID. Sebagian orang yang menjalani pengobatan juga mengurangi frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan dan ini akan membuat situasi menjadi buruk. Apabila seseorang tidak meneruskan pengobatan sampai selesai, dia tidak akan sembuh, penyakitnya akan lebih berat dan parah, dan dia akan menjadi sumber penularan ke orang di sekitarnya. Selain itu, pengobatan yang tidak selesai akan memicu kuman TB bermutasi menjadi varian baru yang resisten terhadap obat yang sudah diberikan sebelumnya.
Apa Perbedaan Gejala dan Tanda Penyakit TBC dan COVID-19?
Penyakit COVID-19 adalah penyakit yang akut dimana gejala akan muncul pada 2-14 hari, sedangkan TBC adalah penyakit kronik yang perjalanan penyakitnya panjang dimana gejala akan muncul sejak terpapar kuman TB adalah lebih dari 14 hari. Dari sisi keluhan, demam pada COVID-19 mencapai lebih dari 38oC yang kadang tidak berespon apabila diberikan antidemam, sedangkan demam pada TBC itu tidak terlalu tinggi suhunya dan bisa sembuh sendiri. Batuk pada COVID-19 adalah batuk kering tanpa dahak, sedangkan batuk pada TBC adalah batuk berdahak dan kadang-kadang disertai bercak darah. Gejala khas pada COVID-19 adalah anosmia (kehilangan penciuman) dan ageusia (kehilangan perasa), sedangkan pada pasien TBC tidak memiliki nafsu makan yang memicu penurunan berat badan. Sesak pada COVID-19 muncul secara cepat, beberapa hari setelah terpapar, sedangkan pada TBC, munculnya keluhan sesak memerlukan waktu yang lama.
Apakah Penanganan COVID-19 Mempengaruhi Estimasi Diagnosis dari TBC?
Alat diagnostik TBC yaitu tes cepat molekuler (TCM) sekarang digunakan untuk mendeteksi COVID-19 sehingga hal tersebut menyebabkan temuan kasus TBC menjadi berkurang. Selain itu, ruang perawatan TBC dan tenaga kesehatan sekarang dialihkan untuk menangani kasus COVID-19, sehingga secara tidak langsung pelayanan terhadap kasus TBC juga mengalami penurunan.
Apakah Peningkatan Kewaspadaan Masyarakat terhadap Infeksi Paru dapat menjadi kesempatan Supaya Masyarakat Lebih Waspada terhadap TBC?
Banyak yang bisa kita pelajari dari pandemi COVID-19 dan bisa kita manfaatkan untuk penanggulangan TBC. 3T (Tracing, Testing, Treatment) COVID-19 sebenarnya dilakukan juga di TBC namun pelaksanaannya kurang masif, sehingga karena sudah terbiasa melakukan 3T, pemerintah diharapkan juga bisa meningkatkan investigasi kontak untuk kasus TBC. Dari sisi kebiasaan masyarakat, sekarang masyarakat terbiasa untuk memakai masker, padahal sebelum terjadi pandemi COVID-19, tenaga kesehatan kewalahan untuk membiasakan pasien menggunakan masker. Kebiasaan menggunakan masker, cuci tangan, menjaga jarak, meningkatkan sistem imun dengan hidup bersih dan sehat bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan penanggulangan kasus TBC.
Pengalaman Pribadi dalam Merawat Pasien TBC Baik Sebelum maupun Saat Pandemi
Sebelum pandemi, perawatan pasien TBC bisa dilakukan secara langsung, bisa membangun komunikasi dengan pasien, dan mendampingi pasien secara intens dan rutin. Pendamping bisa bertemu pasien setiap hari tanpa ada batasan baik di RS maupun di puskesmas atau kalau diperlukan bisa datang ke rumah untuk memberikan edukasi dan motivasi yang diperlukan oleh pasien TBC. Saat masa pandemi, frekuensi bertemu dengan pasien TBC menjadi terbatas. Ketakutan pasien untuk datang ke layanan kesehatan membatasi pendamping untuk mendampingi secara psikososial, sehingga pendampingan dilakukan secara virtual melalui telepon
Apakah Ada Dukungan Non Obat-obatan untuk Pasien TBC yang Mengalami Resisten Obat?
Ketakutan dan kekhawatiran akan tertular COVID-19 membuat semua sistem yang terkait dengan penanggulangan TBC menjadi terhambat dan tidak bisa berjalan dengan maksimal. Beberapa pasien TBC berniat untuk kontrol setelah selesai pandemi COVID-19. Sebisa mungkin pendamping pasien TB-RO harus memahami tentang perjalanan dan penyebaran penyakit COVID-19 dan bisa memberikan edukasi tersebut kepada pasien-pasien TBC sehingga bisa mengurangi ketakutan pasien untuk datang ke layanan kesehatan. Pendamping berusaha mengetahui apa yang menyebabkan pasien tidak datang ke layanan kesehatan dan dengan bekerja sama dengan para CSR dan donatur, pendamping berusaha untuk memenuhi kebutuhan pasien sehingga pasien tersebut bisa kembali kontrol.
Saran untuk Penyedia Layanan, Tenaga Kesehatan dan Pemerintah
Harapannya, setiap pasien TBC jangan pernah takut untuk datang ke layanan kesehatan. Kita bersama-sama mendukung pasien yang TBC untuk mengurangi stigma dan diskriminasi yang terjadi. Kita harus mengusahakan bagaimana supaya pasien mendapatkan informasi, edukasi, dan dukungan yang baik. Untuk pasien TBC yang sudah menjalani pengobatan, selesaikan pengobatan dari awal sampai akhir dan ikuti aturan dokter dan RS yang sudah ditetapkan terkait pencegahan dan pengobatan TBC. Layanan kesehatan harapannya bisa membuka pelayanan seperti semula. Pemerintah diharapkan bisa lebih memerhatikan untuk layanan-layanan yang belum terbuka dan apa saja yang menghambat pasien untuk datang ke layanan kesehatan.
Apakah ada Permasalahan atau Tantangan yang Dihadapi Pasien TBC Baru di Era Pandemi?
Pasien terkendala terkait rujukan dan beberapa pemeriksaan lanjutan yang memakan waktu cukup lama sehingga pasien tersebut tidak segera mendapatkan pengobatan. Hal itu bisa mendorong pasien untuk memilih opsi pengobatan lain, seperti mencari pengobatan herbal atau alternatif.
Apa Dampak dari TB-RO (TB dengan resisten obat) ke Depannya?
Tingkat kesembuhan pasien dengan TB-RO tidak sebaik bila dibandingkan dengan tingkat kesembuhan pada pasien dengan TB yang masih sensitif dengan obat. Pasien dengan TB-RO memerlukan pengobatan dengan obat antituberculosis lini kedua yang obatnya lebih keras dan memiliki efek samping lebih banyak yang menyebabkan pasien tidak kuat dan berhenti minum obat.
Kondisi Kasus TBC di Indonesia pada Era Pandemi dari Hasil Pengamatan STPI selama Satu Tahun
Terjadi penurunan dalam penemuan kasus TBC terutama di tahun 2020 akibat pandemi. Penurunan tersebu mencapai hampir 42% dibandingkan di tahun 2019. Karena pandemi, kesulitan mendapatkan pekerjaan menjadi beban tersendiri dalam pembiayaan apabila pasien terkena penyakit TBC. Penurunan penemuan kasus TBC ini juga bisa menyebabkan tingkat penularan menjadi meningkat.
Pandangan Masyarakat terhadap TBC di Era Pandemi COVID-19
Angka kematian kasus TBC hampir 3 kali lipat dibandingkan angka kematian pada kasus COVID-19. Ketakutan masyarakat yang berlebih terhadap COVID-19 dibandingkan TBC mungkin dikarenakan perjalanan penyakit COVID-19 terjadi secara akut, sehingga kematian terjadi lebih cepat sedangkan TBC adalah penyakit kronis yang kematiannya jauh lebih lama. Pemahaman-pemahaman tersebut harus diubah karena semua penyakit dan kondisi kesehatan harus diberikan perhatian yang sama. Jangan sampai masyarakat beranggapan bahwa beban penyakit TBC lebih ringan atau kurang berbahaya dibandingkan COVID-19.
Peran STPI sebagai Non-Government Organization untuk meningkatkan kewaspadaan akan Infeksi Paru selain COVID-19 yang Sedang Emerging
STPI mendorong peran pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih dan tidak menyingkirkan prioritas untuk menangani TBC. Penanganan TBC dan COVID-19 bisa berjalan bersamaan dan perlu kolaborasi yang baik serta keterlibatan dari semua pihak. STPI mengajak semua unsur, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat (public private community partnership) dan diharapkan bisa bermitra secara kuat untuk menangani TBC. STPI mencoba memfasilitasi kebutuhan pasien TBC dan memberikan kampanye serta edukasi bahwa penanganan TBC sama penting seperti penanganan COVID-19
Saran terhadap Pemerintah untuk Penanganan Kasus TBC pada Masa Pandemi dan Setelah Pandemi
Penanganan kasus TBC tidak bisa jika hanya dilakukan oleh orang-orang di bidang kesehatan saja, semua harus terlibat dalam penanganan TBC maupun COVID-19, sehingga bisa meningkatkan capaian penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan. STPI juga mendorong peran pemerintah daerah dengan advokasi dan menggiatkan komunitas baik kader maupun pendamping supaya terlibat secara langsung dalam penanggulangan TBC. Kampanye dan promosi harus dilakukan secara masif dan tidak hanya dilakukan saat peringatan hari TBC saja dengan melibatkan semua unsur.
Apa Rencana yang Paling Memungkinkan untuk Memulihkan Kondisi TBC yang Terdampak Pandemi?
Untuk pencapaian program penanggulangan TBC yang lebih baik lagi adalah dengan berbenah lagi dan banyak melakukan inovasi. Apabila tindakan yang dilakukan masih tetap seperti sebelumnya dan tanpa inovasi, maka keberhasilan penanggulangan kasus TBC akan sulit dicapai. Salah satu inovasi yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi untuk melakukan pemantauan apakah seseorang tersebut minum obat atau tidak. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah juga harus mendukung inovasi yang dilakukan untuk penanggulangan TBC. Semua lintas sektor bertanggung jawab atas pasien TBC di daerah masing-masing, bukan hanya orang-orang di bidang medis saja. Investigasi kontak dimaksimalkan kembali dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dan membangun koordinasi dengan layanan kesehatan terkait penanganan kasus TBC.
Berkaitan dengan TB-RO, Adakah Upaya yang Bisa Dilakukan untuk Mendeteksi Terutama di Daerah Perifer?
Diagnosis TB-RO yang pertama adalah dengan geneXpert. GeneXpert merupakan screening awal untuk pasien TB dan TB-RO. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan BTA atau biakan bakteri dan uji kepekaan untuk menunjukkan pola kepekaan yang sebenarnya terhadap antibiotik untuk pengobatan TBC. Apabila daerah-daerah tersebut belum memiliki fasilitas geneXpert, bisa berkomunikasi atau berkoordinasi untuk melakukan proses perujukan dengan mengirimkan sampel dahak menggunakan SOP yang sudah ditetapkan.
Eps. Spesial Teror Iklan Rokok di Internet
Berbagai strategu dijalankan untuk menunjang kegiatan pemasaran rokok supaya dapat mencapai dan mempengaruhi anak muda, salah satunya melalui internet dan platform digital.
Eps. 68 Omicron Joined The Club (PART 2)
Kemunculan varian baru Omicron menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dini terkait tingkat penularan, gejala, dan faktor-faktor pemicu serta risiko reinfeksi yang diakibatkan oleh mutasi Omicron, dan bagaimana vaksin dapat mencegah terjadinya tingkat reinfeksi dan keparahan risiko yang lebih tinggi. Simak episode podcast Relatif Perspektif mengenai Mutasi Omicron bersama dr. Endri Budiwan, MPH. (Neglected Tropical Diseases Technical Advisor, RTI Intenational).
Eps. 68 Omicron Joined The Club (PART 1)
Kemunculan varian baru Omicron menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dini terkait tingkat penularan, gejala, dan faktor-faktor pemicu serta risiko reinfeksi yang diakibatkan oleh mutasi Omicron, dan bagaimana vaksin dapat mencegah terjadinya tingkat reinfeksi dan keparahan risiko yang lebih tinggi. Simak episode podcast Relatif Perspektif mengenai Mutasi Omicron bersama dr. Endri Budiwan, MPH. (Neglected Tropical Diseases Technical Advisor, RTI Intenational).