cover Adiksi Perilaku dan Belenggu Kesenangan Yang Melenakan
Kesenangan dan kepuasan, merupakan perasaan yang sangat didambakan oleh manusia. Namun, tidak jarang manusia mencarinya secara instan dan eksesif, hingga menjadi sebuah candu yang membelenggu.
Kesenangan dan Kebahagiaan
Siapa sih yang tidak mencari kebahagiaan dalam hidupnya? Semua manusia di dunia ini tentu mengejarnya. Meraih kebahagiaan, apapun bentuknya, dapat menumbuhkan rasa bangga dan puas dalam menjalani hidup. Hasilnya, benda yang memberikan kebahagiaan akan terus dicari dan perilaku yang membuat bahagia akan terus diulangi.
Namun, kebahagiaan yang didapat secara instan telah menyebabkan distorsi antara kebahagiaan (well-being) dan kesenangan (pleasure). Perasaan senang tak melulu menjadi tanda kebahagiaan. Ketika kita membeli barang idaman kita, mencicipi makanan lezat nan kekinian, atau meraup likes di media sosial, jelas akan hadir rasa senang dalam hati kita. Namun, ketika kesenangan itu pudar, belum tentu kita akan tetap merasa bahagia. Tak jarang ada penyesalan atau kegelisahan untuk segera kembali mendapat kesenangan yang sesaat itu.
Sebaliknya, kebahagiaan adalah suatu kondisi yang dapat bertahan lama dan memberikan kepuasan yang lebih menetap. Tentunya, kebahagiaan yang menetap ini perlu dicapai dengan pengorbanan yang bermakna serta benar-benar memberikan manfaat pada kehidupan kita. Keberhasilan dalam meniti karir, membina kesehatan fisik, membesarkan anak - kebahagiaan ini tak mudah sirna oleh waktu.
Apa Yang Terjadi di Balik Perasaan Senang dan Bahagia Itu?
Ditinjau dari perspektif neurokimia, kondisi-kondisi yang menimbulkan kesenangan dan kebahagiaan memicu jaringan-jaringan di otak untuk menghasilkan senyawa neurotransmiter berupa hormon, seperti dopamin, serotonin, oksitosin, dan endorfin. Dopamin adalah sebuah hormon yang kerap disebut sebagai pembawa sinyal senang atau kepuasan, di samping sederet fungsi lainnya. Dopamin juga berperan dalam proses belajar, sehingga tak mengherankan bila seseorang akan “mempelajari” barang-barang atau perilaku apa yang dapat memicu rangsangan dopamin sang perantara kepuasan.
Secara alamiah, manusia mengejar dopamin dengan cara seefisien mungkin. Oleh karena itu, tak jarang kita terjebak mengejar kesenangan secara instan. Misalnya, seseorang yang mengonsumsi narkotika seperti ganja, heroin, kokain akan merasakan kesenangan atau high untuk beberapa waktu berkat lonjakan dopamin dan berbagai neurotransmiter lainnya. Ketika kesenangan itu pudar, maka akan timbul dorongan untuk mencari sumber kesenangan yang sama sehingga kemudian timbullah ketergantungan.
Lingkungan modern memberikan pilihan yang hampir tak terbatas untuk mendapatkan dopamin instan, seperti internet dan media sosial. Sumber-sumber dopamin yang “tradisional” seperti game, pornografi, dan perjudian pun sudah pindah rumah ke dunia maya sehingga makin mudah diakses. Kombinasi antara kondisi manusiawi dan situasi lingkungan ini dapat berujung pada suatu gangguan yang disebut “adiksi” atau kecanduan. Dengan pemahaman mengenai kerja otak, adiksi sekarang ini pun tidak lagi terbatas pada zat saja, tetapi juga meliputi adiksi perilaku.
Apa Itu Adiksi?
Adiksi zat dan adiksi perilaku dapat dikatakan membajak sirkuit atau jaringan otak yang bertanggung jawab mengelola rasa senang dan puas (pleasure and reward) dengan perantara dopamin. Pada adiksi perilaku, memang tidak ada zat yang masuk ke jaringan tersebut untuk memicu pelepasan dopamin, tetapi perilaku tertentu dapat menyebabkan peningkatan dopamin secara berlebihan. Hasilnya, seseorang akan mengalami kesulitan untuk menghentikan perilaku tersebut. Sebaliknya, ia akan terus meningkatkan perilaku tersebut karena terjadi penurunan sensitivitas reseptor dopamin, sehingga ia memerlukan dopamin yang lebih banyak untuk mendapatkan sensasi senang.
Sebelum kita menelaah lebih jauh, tentu kita perlu mengenal apa yang sebenarnya dimaksud sebagai adiksi. Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal tertentu sampai pada taraf mempengaruhi perilaku mereka yang mengalaminya, dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Beberapa tanda bahwa suatu perilaku telah mencapai tahap adiksi adalah sebagai berikut:
- Toleransi (kebutuhan untuk menggunakan dosis zat yang lebih tinggi atau melakukan perilaku yang bermasalah dengan frekuensi yang lebih sering, untuk mencapai efek yang sama)
- Withdrawal (perasaan gelisah, lekas marah, ketegangan saat sumber kesenangannya dihentikan)
- Hilangnya kendali untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku terkait adiksinya
- Pemikiran dan perencanaan obsesif untuk mendapatkan zat atau perilaku terkait adiksi, seakan-akan menjadi prioritas paling utama
- Keinginan terkait adiksi tidak surut meski timbul konsekuensi negatif (seperti dalam aspek keuangan, kesehatan, hubungan interpersonal, masalah hukum)
Tiga kriteria terakhir merupakan karakteristik yang menonjol pada adiksi perilaku. Seorang pemain game online dapat menghabiskan sepanjang hari untuk bermain, sampai mengabaikan kegiatan lain, bahkan untuk merawat diri sekalipun. Ia pun rela untuk menghabiskan tabungannya serta tabungan keluarga untuk menunjang permainannya. Sebenarnya ia sudah beberapa kali berpikir bahwa ia perlu memperbaiki perilakunya ini, tetapi entah bagaimana ia selalu gagal seakan-akan ia tak lagi mengendalikan perilakunya. Situasi ini dapat menjadi pertanda bahwa ia mengalami adiksi game.
Adiksi Judi atau Gambling Disorder
Kondisi yang serupa dapat dijumpai pada mereka yang mengalami adiksi judi atau gambling disorder, apalagi sejak pemakaian smartphone semakin merebak dan tersedia jasa judi online yang mudah diakses. Adiksi judi ditandai oleh beberapa fenomena yang sudah kita bahas sebelumnya, serta beberapa tanda dan gejala tambahan. Pertama, seseorang akan mengeluarkan uang yang semakin besar untuk dimainkan, sehingga menyebabkan masalah finansial. Kedua, seseorang cenderung menutupi atau berbohong untuk menutupi perilaku adiksinya serta konsekuensinya. Ketiga, manifestasi dari hilangnya kendali atas perilaku judi dapat berupa keyakinan irasional (false beliefs) terkait perjudian yang menyebabkan perilaku judi terus dilakukan. Gambler's fallacy adalah keyakinan bahwa akan ada kemenangan yang kelak terselip di antara rentetan kekalahan sehingga ia akan terus berjudi, meskipun secara rasional ia tahu kemungkinan untuk menang sebenarnya sangat kecil. Loss-chasing adalah keyakinan bahwa kekalahan judi harus dibalaskan sehingga ia akan terus berjudi demi membalas dendam tersebut. Keyakinan irasional lainnya adalah keyakinan bahwa near miss atau situasi nyaris-menang akan berujung pada kemenangan pada permainan berikutnya; serta keyakinan bahwa suatu kemenangan akan membawa kemenangan-kemenangan berikutnya.
Faktor Yang Mempengaruhi Adiksi
Kondisi adiksi, sebagai salah satu jenis gangguan jiwa, merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor biopsikososial. Faktor biologi dapat berupa faktor keturunan, yaitu seseorang dengan anggota keluarga yang mengalami adiksi akan memiliki risiko mengalami adiksi juga, atau faktor non-keturunan seperti kerusakan otak di area tertentu. Faktor psikologis berhubungan dengan kepribadian, temperamen, koping, dan karakteristik psikologis lainnya. Selain itu, gangguan jiwa lain seperti gangguan depresi atau gangguan bipolar dapat meningkatkan risiko komorbiditas adiksi. Terakhir, faktor sosial pun turut mewarnai perilaku seseorang, misalnya pola asuh orang tua, jejaring sosial, hingga hukum atau budaya pada lingkup yang lebih luas.
Dampak Adiksi
Dampak adiksi tak hanya berkaitan dengan perilaku itu sendiri, tetapi dapat merembet pada seluruh aspek kehidupan. Adiksi tentu mempengaruhi kondisi psikologis mereka yang mengalaminya, sehingga kerap berkomorbiditas dengan gangguan jiwa lain. Selain itu, hilangnya kendali atas perilaku diri sendiri dapat meningkatkan risiko seseorang melakukan kekerasan terkait adiksinya. Adiksi juga menyebabkan gangguan pada relasi dengan orang sekitar, serta masalah ekonomi yang kemudian dapat mengarah pada tindak kriminal.
Pencegahan Adiksi
Adiksi memang dapat ditangani, tetapi alangkah baiknya jika kita dapat mencegahnya dari awal sebelum timbul berbagai dampak negatifnya. Deteksi dini merupakan salah satu langkah untuk pencegahan gangguan jiwa bertaraf berat. Apabila kita mulai merasa atau orang lain mulai memperhatikan adanya perubahan perilaku kita akibat mengejar suatu benda atau kegiatan tertentu, maka dapat dikonsultasikan dengan profesional kesehatan jiwa seperti psikiater atau psikolog.
Informasi yang berbasis bukti ilmiah terkait adiksi perlu disebarkan pada seluruh lapisan masyarakat agar kita dapat menyikapi kondisi adiksi serta mereka yang mengalami adiksi dengan tepat dan empatik. Adiksi perilaku itu nyata, ada di sekitar kita, dan dapat membahayakan bila tidak ditangani dengan tepat. Kita dapat bersama-sama membentuk lingkungan yang kondusif bagi kesehatan jiwa, agar rekan-rekan kita tak perlu bergantung pada zat atau perilaku tertentu demi mencapai kebahagiaan. Kita pun dapat membentuk masyarakat yang mampu berempati pada mereka yang berjuang melawan adiksi, serta mendorong para pemangku kebijakan untuk meningkatkan sumber daya untuk menangani adiksi.
Bagaimana langkah kita agar terhindar dari perilaku adiksi? Pencegahan yang dapat dilakukan adalah memberikan pemahaman dan edukasi kepada diri dan lingkungan sekitar kita tentang adiksi itu sendiri, mulai dari tatanan keluarga, sekolah, hingga komunitas. Peran keluarga sangat penting dalam pencegahan adiksi, menurut Bohler & Thrul, peran keluarga yang komunikatif dan terbuka akan lebih baik dalam mencegah terjadinya perilaku adiksi pada anak. Selain itu, meningkatkan aktivitas sehari-hari dengan kegiatan yang melibatkan fisik atau hobi seperti seni, berkebun, olahraga, dan lain-lain, dapat mencegah perilaku adiksi terjadi pada remaja dan dewasa. Kita perlu deteksi dini terhadap diri sendiri dan orang-orang sekitar apakah sudah mengalami adiksi perilaku. Salah satu contoh deteksi dini terhadap adiksi perilaku yang sudah tersedia di Indonesia yaitu Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) yang dibuat oleh salah seorang ahli di bidang tersebut, Dr. dr. Kristiana Siste, SpKJ yang merupakan Kepala Departemen Psikiatri FKUI-RSCM. Melalui kuesioner tersebut, kita bisa melihat apakah diri kita memiliki kecenderungan mengalami adiksi internet atau tidak, yang kita tahu saat ini, setiap hari kita tidak bisa terlepas dari internet. Instrumen skrining KDAI ini memiliki sensitivitas yang tinggi sebagai alat skrining dan dapat digunakan oleh guru, orang tua, serta tenaga kesehatan profesional.
Yuk mulai jaga kesehatan dan kebahagiaanmu dengan memilih melakukan kegiatan yang lebih positif. Kebahagiaan akan terlipatgandakan jika kita melibatkan orang lain di dalamnya. Psikolog telah mempelajari kehidupan yang orang-orang memiliki tujuan besar dalam hidupnya dan membuat hidupnya bermakna. Mereka adalah orang-orang yang fokus melihat makna pada kehidupan mereka dalam konteks yang lebih besar dari dirinya sendiri. Percaya mereka harus mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi orang lain, mereka banyak berpikir tentang apa arti hidup dan bagaimana mereka cocok dengan gambaran besarnya. Mereka merasakan apa yang mereka lakukan penting bagi masyarakat. Mari kita kembangkan diri kita, dan bergandeng tangan dengan orang-orang di sekitar kita, untuk menggali makna hidup ini serta membantu mereka menemukan maknanya masing-masing. Adiksi bukanlah suatu kegagalan, melainkan suatu kondisi gangguan yang membutuhkan penanganan yang tepat dan berjiwa humanistik.
Dengarkan podcast Relatif Perspektif tentang Adiksi Perilaku di sini.
Gambar disadur dari: detoxplusuk.com
Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis
Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?
Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana
Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.
Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?
“Climate change is first and foremost a health crisis”