Long COVID-19: Musuh Besar Indra Penghidu Kita
cover Long COVID-19: Musuh Besar Indra Penghidu Kita
Indra merupakan bagian yang penting bagi kehidupan kita, jika salah satu saja terganggu fungsinya, aspek hidup kita juga akan terganggu. Begitulah Long COVID merenggut salah satu indra kita.
Pandemi belum usai. Setiap orang, baik mereka yang belum pernah terpapar COVID-19 maupun para penyintas, tetap harus menjaga diri dari penyakit yang telah membunuh lebih dari 2 juta orang ini. Infeksi baru COVID-19 masih terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan menurut statistik yang dicatat World-O-Meter, angka COVID mencapai lebih dari 500.000 orang setiap harinya. Bagi mereka yang sudah melewati COVID-19 pun, cerita tak berakhir di situ saja.
Seorang jurnalis dan peneliti menjadi awal perkenalan dunia dengan fenomena long COVID-19. Melalui tulisannya di media sosial, seorang profesor di Liverpool, Paul Garner, berbagi pengalaman mengenai keluhan yang tetap ia alami setelah dinyatakan “sembuh” dari COVID-19, sampai sekitar 7 minggu. Observasi tersebut mendorong penelitian tentang long COVID-19 untuk menjawab pertanyaan apa saja yang dapat terjadi dan siapa yang rentan mengalaminya.
Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE), fenomena long COVID-19 sebenarnya terdiri dari dua kondisi. Pertama, seseorang mungkin mengalami gejala COVID-19 secara terus-menerus sampai 4-12 minggu, sehingga disebut sebagai ongoing symptomatic COVID-19. Kedua, seseorang dapat dinyatakan negatif COVID-19 oleh uji PCR, tetapi masing mengalami berbagai gejala pada bagian tubuh atau organ yang berbeda-beda. Kondisi ini dinamakan post_-COVID _syndrome dan gejalanya dapat bertahan hingga lebih dari 12 minggu.
Penelitian dari University of Washington menemukan bahwa sekitar 30% penyintas COVID-19 masih mengalami sisa gejala yang menetap selama 3 sampai 9 bulan dari waktu mereka didiagnosis. Gejala yang dapat terjadi pada long COVID antara lain sesak napas, dada terasa berat, fatigue atau mudah lelah, sakit kepala yang hilang timbul, radang tenggorok, batuk-batuk, dan gangguan penghidu. Di antara kumpulan gejala tersebut, yang paling banyak dialami adalah kelelahan (fatigue) dan hilangnya fungsi penciuman atau perasa, terjadi pada 13,6% penyintas.
Menurut dr. Ferucha Moulanda, SpTHT-KL dalam episode podcast Relatif Perspektif, gangguan penghidu alias gangguan dalam mendeteksi bau-bauan atau aroma tidak hanya disebabkan oleh COVID-19. Gangguan penghidu dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi virus, trauma atau cedera kepala, keganasan, dan proses degeneratif. Pada kondisi infeksi virus, gangguan penghidu terjadi pada 11-45% kasus. Salah satu virus yang dapat menyebabkannya adalah SARS-CoV-2. Dari beberapa penelitian, angka kejadian gangguan penghidu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh derajat keparahan COVID-nya. Prevalensi gangguan penghidu pada kasus COVID dengan gejala ringan adalah 85,9%, kasus COVID dengan gejala sedang adalah 4,5%, dan kasus COVID berat yang hingga membutuhkan perawatan intensif di ICU adalah 6,9%. Karakteristik gangguan penghidu pada COVID-19 adalah terjadi sendiri atau isolated, tidak didahului oleh demam atau batuk-pilek berat. Gangguan juga umumnya terjadi secara tiba-tiba.
Mungkin tak semua orang langsung memahami betapa pentingnya fungsi penghidu kita dalam kehidupan sehari-hari. Toh kebanyakan dari kita pernah mengalaminya saat sedang pilek atau sakit lainnya. Akan tetapi, sebagai salah satu dari indra yang manusia miliki, indra penghidu memiliki fungsi yang penting dan tak tergantikan. Di dalam hidung, terdapat selaput lendir (mukosa) yang berfungsi menangkap rangsangan dari molekul aroma. Aroma atau bau-bauan tersebut dapat masuk melalui lubang hidung, seperti saat kita mencium aroma bunga, atau melalui area belakang hidung yang tersambung dengan rongga mulut, sehingga molekul aroma makanan yang kita kunyah juga dapat ditangkap. Selaput mukosa atau epitel olfaktorius kemudian mengirim sinyal yang menandai aroma tersebut ke sebuah bagian yang disebut bulbus olfaktori. Lalu, sinyal tersebut diteruskan ke otak yang akan memprosesnya sehingga kita mendeteksi dan memaknai aroma tersebut. Melalui proses inilah kita bisa membau sesuatu.
Salah satu fungsi penting organ penghidu adalah menjadi detektor bahaya yang dapat mengancam nyawa. Bayangkan ketika kita sedang di rumah sendirian, lalu mendadak kita mencium bau gas. Tentu kita akan segera mengeceknya untuk mencegah kebocoran meluas dan terjadi kebakaran. Saat berada di suatu tempat pun kita dapat mendapatkan “sinyal” terjadi kebakaran di sekitar kita melalui bau benda terbakar dan kita dapat bersiap menyelamatkan diri. Contoh lain yang mungkin lebih sering kita alami, tumpukan sampah yang sudah berbau menyengat pastinya akan mendorong kita untuk menjauhi sumber penyakit itu.
Indra penghidu kita juga memiliki kaitan erat dengan ingatan. Sewaktu mencium aroma masakan yang mirip dengan masakan ibu, kita segera teringat momen indah menikmati masakan ibu. Aroma parfum atau wewangian lainnya pun dapat membawa ingatan kita pada sosok-sosok yang bermakna dalam kehidupan. Eratnya hubungan indra penghidu dengan ingatan atau memori seseorang berkaitan dengan susunan sistem saraf manusia. Bulbus olfaktori berhubungan langsung dengan bagian otak yang memproses aroma, bagian dari sistem limbik yang berperan penting dalam pembentukan memori, khususnya yang memiliki warna emosi. Secara spesifik, amigdala di sistem limbik memproses memori dan emosi tersebut, sedangkan hipokampus membentuk associative learning atau mengaitkan suatu sensasi dengan memori lain_._ Respons terhadap aroma dan ingatan tersebut kemudian dibentuk oleh korteks prefrontal sebagai pusat perencanaan.
Ketika kemampuan menghidu mengalami gangguan, maka aktivitas dan kualitas hidup seseorang akan mengalami dampak negatif yang bermakna. Contoh yang paling akrab bagi kita adalah hilangnya selera makan ketika sedang pilek dan tidak bisa membaui aroma makanan. Bayangkan bila kondisi tersebut terjadi dalam durasi yang lama sampai mempengaruhi asupan nutrisi, tentu akan berdampak pada organ-organ tubuh lainnya. Contoh lainnya, kita tidak bisa waspada terhadap sinyal bahaya seperti yang dicontohkan sebelumnya mengenai bau kebakaran atau gas bocor.
Gangguan penghidu dapat dikelompokkan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Pada kelompok kuantitatif terdapat anosmia dan hiposmia. Seseorang yang mengalami anosmia tidak bisa membau sama sekali, sedangkan pada hiposmia terjadi penurunan kemampuan menghidu. Gangguan ini dinilai berdasarkan keluhan dari pasien dan dapat dipertajam dengan uji fungsi penghidu menggunakan aroma yang khas seperti kopi, vanili, teh, atau aroma buah-buahan. Di kelompok kualitatif, terdapat gangguan parosmia yang ditandai oleh gangguan dalam menginterpretasikan sinyal aroma. Salah satu contoh gangguan dalam spektrum parosmia adalah kakosmia, yang menyebabkan seseorang mempersepsikan seluruh bau-bauan sebagai bau busuk. Selain itu, terdapat gangguan phantosmia, yaitu seseorang mencium bau-bauan padahal tidak ada sumbernya, biasanya hal ini disebabkan oleh halusinasi.
Gangguan penghidu pada COVID-19, utamanya long COVID, dapat ditandai oleh parosmia yang menyebabkan pasien COVID-19 salah menginterpretasikan sinyal aroma. Contohnya, ketika mencium aroma roti, pasien malah menganggapnya sebagai aroma busuk. Kondisi ini dapat membuat pasien cenderung merasa mual dan menurunkan nafsu makan.
Gangguan penghidu juga dapat diklasifikasikan menjadi gangguan konduktif dan gangguan sensorineural. Pada gangguan penghidu konduktif, terjadi gangguan pada sistem penghantaran sinyal bau-bauan. Gangguan konduktif umumnya disebabkan kelainan di organ penghidu, seperti penyakit polip, peradangan sinus (sinusitis), atau peradangan rongga hidung (rhinitis). Pada gangguan penghidu sensorineural, terjadi gangguan pada sistem sarafnya, yaitu pada epitel olfaktorius, reseptor atau penerima sinyal penghidu, atau pada struktur otak yang biasanya disebabkan pada kasus trauma kepala atau proses penuaan (degeneratif).
Karena terdapat sekian banyak penyebab gangguan penghidu, maka kita tak bisa menebak-nebaknya, apalagi langsung menyatakan seseorang mengalami COVID. Memang, gangguan penghidu merupakan salah satu tanda yang dikatakan cukup khas untuk COVID, tetapi diagnosisnya tetap harus ditegakkan melalui pemeriksaan lain.
Sebagai perawatan organ penghidu yang mengalami gangguan, baik karena COVID maupun bukan, PERHATI-KL menganjurkan untuk melakukan cuci hidung secara rutin dengan cara yang benar untuk membersihkan area selaput lendir hidung kita. Jika kondisi gangguan penghidu masih berlanjut hingga lebih dari dua minggu, maka akan diberikan tatalaksana menggunakan semprot steroid intranasal dan dilakukan latihan penghidu.
Gangguan penghidu juga dapat dicegah dengan membersihkan hidung, karena setiap hari hidung kita dilewati oleh banyak sekali udara yang membawa partikel debu dan mikroorganisme, yang akan disaring oleh hidung. Partikel debu dan mikroorganisme tidak seharusnya berada di dalam tubuh kita, maka dari itu perlu kita bantu dengan membersihkannya sendiri untuk menjaga kesehatan hidung kita. Membersihkan hidung dilakukan dengan cara mencuci hidung kanan dan kiri menggunakan larutan fisiologis garam NaCl. Cara yang dapat dilakukan yaitu:
- Ambil cairan NaCl menggunakan spuit tanpa jarum atau botol pencuci hidung
- Kepala dimiringkan, masukkan spuit ke salah satu lubang hidung.
- Mulut dibuka, lalu tahan napas.
- Semprotkan dengan kuat.
- Keluarkan ingus atau sisa cairan, kemudian bersihkan menggunakan tisu.
- Buang tisu pada tempatnya.
Cuci hidung dapat dilakukan 1-2 kali dalam sehari dan rutin setiap hari. Lihat selengkapnya melalui video di sini. Selain itu, kita dapat melatih indra penghidu kita dengan cara melatihnya membaui aroma yang cukup kuat tapi tidak mengiritasi, seperti kopi, lemon, atau aroma essens lainnya. Latihan ini akan membantu indra penghidu kita lebih sensitif terhadap bau atau aroma. Jaga indra penghidu kita untuk menjaga kualitas hidup kita.
Temukan episode podcast kami mengenai Long COVID dan Parosmia di sini.
Gambar disadur dari; cnnindonesia.com
Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis
Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?
Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana
Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.
Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?
“Climate change is first and foremost a health crisis”