beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Mental

Sebuah Fenomena Bagaimana Pikiran Mempengaruhi Tubuh Kita

Feb 12, 2021
/
8 min read
cover article

cover Sebuah Fenomena Bagaimana Pikiran Mempengaruhi Tubuh Kita

Intro
Manusia hidup dengan keselarasan pikiran dan tubuh, ketika harmoni itu terganggu, maka apa yang terjadi?

Pernahkah kamu, atau mungkin seseorang yang kamu kenal, sering mengeluh nyeri kepala atau perut melilit atau berdebar-debar atau nyeri dada setiap kali merasa stres --entah itu stres karena pekerjaan atau stres karena urusan kuliah? Pernahkah keluhan itu menjadi sedemikian beratnya sampai kamu perlu mengambil waktu rehat dari urusan yang membuat stres? Keluhan yang mengganggu itu hilang setelah istirahat, atau mungkin dengan minum obat. Akan tetapi, setiap menghadapi stres yang serupa, keluhan itu muncul lagi tanpa diundang. Orang di sekitar, atau bahkan mungkin dokter, mungkin menyatakan padamu, “Kamu hanya kelelahan dan badanmu butuh istirahat.”

Apakah selalu demikian?

Kita semua mungkin setuju waktu istirahat memang perlu dan bermanfaat bagi kesehatan. Namun, “kelelahan” itu bukan hanya urusan tubuh; pikiran kita pun bisa mengalami kelelahan, tentu dalam bentuk yang lain. Dalam tubuh kita sebagai sebuah sistem yang terintegrasi, fungsi setiap organ dipengaruhi oleh organ-organ lainnya. Apa yang terjadi pada otak, sebagai organ yang dapat dikatakan sebagai “ketua panitia” fungsi tubuh, tentunya akan berdampak pada tubuh kita. Otak jugalah yang menangkap, mengolah, dan menghadapi situasi yang kita sebut sebagai “stres”.

Menurut Hans Selye, dikutip oleh Kaplan & Sadock, stres adalah respon non-spesifik dari tubuh terhadap tuntutan lingkungan dalam bentuk apapun, baik oleh keadaan (yang dianggap) menyenangkan maupun tidak menyenangkan Merujuk pada definisi tersebut, sejatinya stres tak melulu terkait hal yang mengancam kesejahteraan, melainkan terbagi menjadi eustress dan distress. Eustress adalah stres yang bersifat positif, dalam arti menantang seseorang untuk menjadi lebih waspada dan siap untuk berkembang. Eustress dapat berasal dari hal-hal yang menyenangkan, contohnya kelulusan, menikah, kelahiran anak, dan lain-lain, atau dari hal yang tidak menyenangkan tetapi dalam taraf yang tepat sesuai kemampuan individu. Sebaliknya, distress adalah stres yang bersifat negatif, menyebabkan fungsi individu menjadi tidak optimal dan dapat membahayakan apabila tidak dikelola dengan tepat. Tentunya kita bisa memberi banyak contoh sumber distress, kan?

Stres akan selalu hadir dalam hidup kita. Hans Selye mengembangkan suatu model stres yang ia sebut sindroma adaptasi umum (General Adaptation Syndrome). Model ini terdiri atas tiga tahap: reaksi alarm, saat tubuh “menyadari” ada stres; tahap resistensi, ketika tubuh beradaptasi terhadap stres; dan terakhir adalah tahap kelelahan, ketika tubuh sudah tak mampu mempertahankan adaptasi yang dilakukan, karena stres terlalu berat atau terlalu lama. Salah satu sistem dalam tubuh yang berperan menghadapi stres adalah sistem saraf simpatis, yang merupakan cabang dari sistem saraf  otonom. Pernah dengar istilah “fight or flight”? Itu adalah pekerjaan dari sistem saraf otonom. 

Secara umum, sistem saraf simpatis mengupayakan agar tubuh kita selamat dari ancaman stres. Jantung akan berdetak lebih kencang, nafas menjadi cepat, dan sel-sel melepaskan cadangan energi untuk digunakan menghadapi ancaman atau segera menghindarinya. Jika kita berhasil mengatasinya, maka stresor tersebut adalah eustres yang memicu untuk berkembang. Namun, ketika stres itu melampaui kemampuan individu dan menjadi distres (tahap kelelahan dalam sindrom adaptasi umum), dapat timbul dampak negatif pada tubuh. Mari kita lihat contoh berikut ini. 

Seorang perempuan muda Nn. T mendapat tugas tambahan dari atasan di kantor. Tentu awalnya ia kaget, dan bahkan mungkin kesal, saat melihat setumpuk berkas yang harus ia periksa. Ia pun berusaha menyesuaikan diri dengan cara mengatur pola kerja dan pembagian waktunya. Tugas tersebut pun sedikit demi sedikit dapat ia selesaikan. Namun, sang atasan kembali datang membawa setumpuk berkas lagi, tanpa melihat beban kerja Nn. T. Hal ini terjadi berkali-kali sampai tugas Nn. T malah semakin bertambah setelah ia kerjakan. Timbul perasaan khawatir tidak mampu menuntaskan pekerjaannya dan nantinya akan mendapat penilaian negatif dari orang sekitar. Ia pun memikirkan nasib penghasilannya bila tidak bisa mencapai target pekerjaan. Tidurnya jadi terganggu dan ia selalu merasa tegang saat bekerja. Ia pun mulai mengeluh nyeri di dada dan kesulitan bernafas yang semakin memberat. Dapat kita lihat bahwa kondisi psikologis Nn. T berhubungan dengan keluhan fisik yang mengganggu. Kondisi inilah yang kerap disebut sebagai “psikosomatik”.

Apa itu psikosomatik?

Gejala psikosomatik ditandai oleh gejala fisik (somatik) yang signifikan, yang dinilai berhubungan dengan kondisi alam pikiran, perasaan, dan perilaku (psikologis). Pedoman-pedoman diagnosis dalam kedokteran jiwa, seperti DSM-5, tidak lagi menggunakan istilah psikosomatik. Namun, tidak berarti kondisi fisik dan psikologis menjadi tidak berhubungan lagi. Ilmu kedokteran tetap memahami bagaimana kondisi psikologis dapat mempengaruhi kesehatan fisik seorang individu, baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Sebaliknya, kondisi fisik pun dapat mewarnai kondisi psikologis seseorang. 

Tentu agak sulit untuk mengukur fenomena tersebut, apalagi untuk menentukan mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat. Terlepas dari itu, kontribusi faktor psikosomatik perlu dipikirkan ketika ada gejala fisik yang tak kunjung reda atau berulang kali timbul meskipun sudah mendapat terapi yang tepat. Tantangan lainnya adalah kadang kita tidak menyadari sepenuhnya kondisi psikologis diri. Tidak semua orang cukup peka untuk mengenali dirinya sedang marah, cemas, takut dan sebagainya.

Bagaimana Mengenali Gejala Psikosomatik?

Tidak ada gejala yang khusus disebut gejala psikosomatik. Contoh yang sering adalah pusing, sesak nafas, kelelahan, jantung berdebar kencang, mual-muntah, gatal-gatal, dan nyeri di bagian-bagian tubuh. Gejala-gejala tersebut bisa muncul sendirian atau bersamaan. Yang membedakan adalah gejala-gejala tersebut adalah timbulnya berhubungan dengan kondisi psikologis, seperti suasana perasaan atau pikiran tertentu. Setiap orang pun dapat mengalami gejala atau rangkaian gejala yang berbeda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Menurut dokter Andri, SpKJ, FAPM dalam episode podcast Relatif Perspektif, setiap orang memiliki “kerentanan” organ yang berbeda-beda. Kerentanan organ inilah yang akhirnya memunculkan gejala yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Contohnya ada seseorang yang ketika stres, maka asam lambungnya meningkat dan mengakibatkan rasa nyeri seperti terbakar pada ulu hatinya, sementara di orang yang lain mengalami nyeri kepala seperti sedang diikat, jantung berdebar-debar, atau gejala lainnya.

Mengatasi Gangguan Psikosomatik

Psikosomatik seperti yang sudah dibahas sebelumnya, merupakan salah satu bentuk keselarasan antara pikiran dan tubuh kita, ketika pikiran terkena banyak sekali beban hingga akhirnya mempengaruhi tubuh. Nah, karena psikosomatik ini terdiri dari dua aspek utama, yaitu psikologis dan fisik, maka tindak penanganannya pun tidak dapat dipisahkan. Untuk mengatasi gejala-gejala yang bersifat psikosomatik, tidak bisa hanya dengan meredakan gejala fisiknya saja, tetapi harus mengurai penyebab psikologisnya. Karena penanganan kondisi psikologis tidak bisa dilakukan dalam sekejap, maka obat yang dapat meredakan gejala fisik tetap diberikan.

Lalu apa saja yang dapat dilakukan terkait kondisi psikologis?

Yang pertama, kita perlu menyadari dan mengidentifikasi stres yang dialami terlebih dahulu. Tetapkan apakah hal tersebut dapat diubah atau tidak. Kadang ada situasi stres yang tidak dapat kita ubah, setidaknya dalam jangka pendek. Maka, yang dapat kita lakukan adalah mengubah cara kita menghadapi situasi tersebut, disebut sebagai metode koping. Metode koping adalah cara yang dilakukan seseorang untuk mengelola tantangan atau stres. Koping dapat berupa aksi yang terlihat (tindakan) seperti mencari bantuan, berusaha lebih keras, ataupun kognisi (proses pikir) seperti mencari sudut pandang baru.  Kita dapat mengenali dan mulai melatih cara-cara koping yang bermanfaat, seperti berfokus pada penyelesaian masalah dengan memilih strategi tindakan dan langkah yang akan diambil, mencari dukungan sosial dari orang lain, membatasi aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres, mengendalikan emosi yang tidak menyenangkan, serta mengurangi koping yang kurang bermanfaat atau bahkan malah merugikan, seperti menghindari dan lari dari masalah lalu melampiaskannya ke hal-hal lain yang justru tidak membantu menyelesaikan masalah tersebut. 

Praktek mindfulness juga dapat diterapkan sebagai cara mengelola stres. Dalam mindfulness terdapat dua bagian utama: perhatian dan penerimaan. Mindfulness dilakukan dengan menyadari dan mengamati kondisi yang sedang dialaminya, tanpa menghakimi dan tetap fokus dengan situasi saat ini dan kini. Mindfulness dilakukan dengan cara membawa pikiran untuk secara sadar berada di setiap momen yang terjadi dalam sehari-hari, dengan cara memperhatikan dan menerima segala yang terjadi pada saat ini. Tidak membawa pikiran jauh ke belakang pada peristiwa di masa lalu, atau pada kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan yang hanya menghadirkan kekhawatiran. Menjadi lebih sadar akan momen sekarang dapat membantu kita lebih menikmati dunia di sekitar kita dan memahami diri kita dengan lebih baik. Kesadaran ini juga membantu kita menyadari tanda-tanda stres atau kecemasan dan membantu kita menghadapinya dengan lebih baik. 

Kemampuan untuk memusatkan pikiran kita di momen saat ini (here and now) menjadi sesuatu yang sangat penting di era digital yang penuh distraksi dan banjir informasi. Pikiran kita kadang hanyut terbawa rentetan peristiwa yang sebenarnya tidak berhubungan dengan kita. Mari kita ambil kembali kontrol atas pikiran kita: luangkan waktu untuk mengistirahatkan pikiran, lalu merefleksikan apa yang sedang kita lakukan, pikirkan, dan rasakan. Buatlah dan berikan ruang yang pantas untuk memusatkan diri agar mampu mengatasi stres yang menerjang. Mengutip lirik lagu oleh Kunto Aji, “sebelum kau menjaga, merawat, melindungi segala yang berarti, yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri.” Selamat menjadi manusia, yang mampu menerima dan menyadari segala emosi yang terjadi dalam diri ini.

Temukan episode podcast kami mengenai Psikosomatik di sini.  

Gambar disadur dari: mindful.org

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved