beranda
/
artikel
/
podcast
/
tentang
/
cari
Kesehatan Masyarakat

Siapa Takut Vaksin?

Apr 15, 2021
/
7 min read
cover article

cover Siapa Takut Vaksin?

Intro
Vaksinasi kerap menimbulkan keraguan dan pertanyaan, padahal banyak manfaat yang dirasakan.

Ilustrasi Kasus

Ada sepasang orang tua, Bu Ayu dan Pak Dani membawa anak pertamanya yang berumur 3 bulan ke klinik dengan keadaan sehat untuk pemeriksaan rutin. Orang tua ini merasa tidak yakin untuk melakukan vaksinasi terhadap anaknya. Sebelum datang ke klinik, beliau telah membaca kumpulan cerita yang beredar di internet mengenai anak-anak yang jatuh sakit setelah diberikan vaksinasi. Beliau khawatir dengan bahaya yang mungkin akan muncul jika anaknya melakukan vaksinasi. Beliau tidak menganggap dirinya sebagai anti vaksin, namun saat ini beliau merasa ragu dan tidak tahu harus memilih pilihan yang mana karena masih memiliki banyak pertanyaan yang tidak terjawab.

Kasus di atas sering kali ditemukan. Apalagi saat ini kita sedang berada di tengah pandemi dan program vaksinasi massal untuk COVID-19. Banyak di antara kita yang mungkin mengenal seorang yang tidak menganggap dirinya anti dengan sains, tetapi ia tetap memiliki keraguan terhadap pelaksanaan vaksinasi untuk diberikan pada diri dan keluarganya. Oleh karena itu, ada baiknya untuk kita  memahami terlebih dahulu mengenai reaksi apa yang bisa muncul setelah kita divaksinasi atau yang sering disebut sebagai KIPI.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

KIPI merupakan seluruh kejadian medis yang tidak diinginkan pada seseorang yang terjadi setelah dilaksanakan vaksinasi. KIPI diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu 1) reaksi KIPI yang terkait dengan komponen vaksin, 2) yang terkait dengan cacat mutu vaksin, 3) akibat kesalahan prosedur, 4) akibat kecemasan karena takut disuntik, dan 5) kejadian koinsiden. Perlu dipahami bahwa kejadian KIPI dapat merupakan reaksi vaksin maupun dari yang bukan reaksi vaksin. Peristiwa yang kebetulan terjadi bersamaan atau setelah imunisasi disebut sebagai kejadian koinsidens. 

Risiko dari vaksinasi dapat berupa efek samping yang ringan, sedang, hingga berat. Efek samping yang umumnya terjadi adalah rasa sakit, kemerahan, atau bengkak pada area suntikan, gejala mirip flu dan tidak enak badan termasuk diantaranya demam ringan, sakit perut, muntah, kehilangan selera makan, dan sakit kepala. Sebagian besar vaksin jarang menimbulkan efek samping yang serius, walaupun kemungkinan kecil tersebut tetap dapat terjadi dengan kejadian sangat jarang. Menurut data yang telah dikumpulkan oleh WHO, perkiraan efek samping serius yang menyertai vaksin untuk anak-anak adalah 1 kejadian untuk 1 juta dosis yang diberikan pada vaksin campak, 1 kejadian pada 750.000 dosis vaksin DTP, dan 1 kejadian pada 2-3 juta dosis vaksin polio. Dari seluruh pelaksanaan vaksinasi, sekitar 50-85% mungkin akan mengalami efek samping yang ringan. Efek samping yang ringan ini adalah hal yang wajar dan justru membuktikan bahwa vaksin tersebut bekerja. Tentunya risiko efek samping vaksin jauh lebih rendah dibandingkan risiko terkena penyakit yang dicegah oleh vaksin.

Keraguan Vaksinasi yang Keliru

Benar adanya bahwa vaksinasi memang memiliki risiko seperti terjadinya KIPI yang masuk ke dalam kategori berat. Namun, seperti yang telah disampaikan di atas kejadian ini jarang terjadi. Keraguan dan ketakutan yang berlebihan akan vaksin di sisi lain lebih sering berhubungan dengan logical fallacy sesat pikir yang disebut ”post hoc ergo propter hoc” atau “setelah ini, oleh karena itu karena ini”. Sesat pikir ini muncul ketika suatu peristiwa disimpulkan sebagai penyebab dari peristiwa yang mendahuluinya. Contohnya terdapat pemberitaan mengenai kematian bayi usai dilaksanakan vaksinasi. Hanya karena kejadian tersebut terjadi berurutan, belum tentu penyebab kematian bayi disebabkan oleh adanya peristiwa vaksinasi yang mendahuluinya. Hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan yang terjadi beruntun.

Gambar dari blandspace.com

Hal yang serupa terjadi pada pernyataan bahwa vaksinasi menyebabkan autisme. Tidak ada hubungan ilmiah yang ditemukan antara pemberian vaksin dan timbulnya autisme. Memang terdapat kasus dimana pasien terdiagnosis autisme bertepatan waktunya setelah pasien mendapatkan vaksinasi, yang menyebabkan kita dengan cepat dan keliru menyimpulkan vaksinasi sebagai penyebab dari autisme tersebut. Padahal vaksinasi tidak menyebabkan autisme. 

Tuduhan bahwa vaksin menyebabkan autisme ini  berawal dari Andrew Wakefield, seorang dokter dari Inggris yang populer dengan studinya yang menyatakan adanya hubungan vaksin MMR dengan autisme. Studi yang dilakukannya diterbitkan tahun 1998 di salah satu jurnal ilmiah yang prestisius, The Lancet. Studi ini adalah sebuah serial kasus yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin MMR dengan gangguan pencernaan pada anak-anak autistik yang berkemungkinan bertanggung jawab atas penyakit autisme itu sendiri. Ia mengadvokasikan untuk menunda atau menolak melakukan vaksinasi MMR. Studi yang dilaksanakannya ini pada akhirnya ditarik dan dibatalkan, setelah ditemukan bahwa metode penelitiannya bermasalah. Terbukti studi ini melakukan manipulasi data. Studi ini juga dilaksanakan dengan motivasi terselubung, ia dibayar oleh para pengacara yang ingin membuktikan bahwa MMR menyebabkan autisme dalam kasus hukumnya. Hal ini menyebabkan ia kehilangan izin prakteknya. Hal ini mengingatkan kita berhati-hati dalam mengambil kesimpulan akan kejadian yang terjadi.

Persebaran misinformasi seperti ini semakin marak terjadi dengan perkembangan era sosial media seperti sekarang ini. Godaan untuk melakukan cocokologi dan menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi acak dalam hidup kita sangat berpotensi menimbulkan kita sesat pikir dan mengambil keputusan yang salah. Hal ini penting untuk dipahami agar tidak memiliki ketakutan yang tidak berdasar terhadap efek vaksinasi. 

Takut divaksinasi hanya karena punya anggapan bahwa vaksinasi yang diberikan berbahaya bagi tubuh agaknya berlebihan dan tidak pada tempatnya. Vaksin baru akan mendapat ijin edar setelah lolos uji serta peninjauan yang panjang dan hati-hati oleh para ilmuwan, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya. Keamanannya telah diuji dalam beberapa tahap sebelum vaksin diedarkan ke masyarakat. 

Vaksinasi bekerja dengan cara meniru cara kerja dari proses infeksi tetapi tidak menimbulkan penyakit yang berat. Hal ini menjelaskan mengapa terkadang setelah diberikan vaksinasi, sering muncul keluhan demam atau meriang. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena vaksin tidak menyebabkan sebuah penyakit, melainkan melatih tubuh untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit yang sesungguhnya. Efek samping yang kemungkinan akan ditimbulkan vaksin jauh lebih ringan dibanding dengan sakit yang mungkin akan ditimbulkan oleh penyakit yang vaksin cegah.

Kesuksesan Vaksinasi yang Tersembunyi

Ironisnya, kesuksesan dari program vaksinasi ini tertutupi oleh keberhasilannya sendiri. Terdapat banyak penyakit menular yang dahulu umum mengancam anak-anak hingga berisiko kematian saat ini telah berhasil terkontrol dan hilang penyebarannya oleh peran vaksinasi. Hal ini mungkin di lain sisi membuat generasi baru orang tua dari anak-anak yang masih muda menjadi tidak familiar dengan penyakit-penyakit ini. Para orang tua tidak lagi memahami ketakutan akan penyakit-penyakit yang telah berhasil dicegah oleh vaksin. 

Smallpox adalah salah satu kisah kesuksesan vaksinasi. Smallpox dulunya adalah sebuah penyakit paling mematikan yang dikenal oleh umat manusia. Pada abad ke-18 di Eropa, 400.000 orang meninggal tiap tahunnya oleh karena smallpox dan satu dari tiga di antara yang selamat mengalami kebutaan. Tingkat kematian pada anak-anak dapat mencapai 80% hingga 98%. Hari ini, penyakit ini sudah tidak pernah muncul ditemukan lagi, karena ditemukannya vaksin smallpox telah sukses mengeradikasi penyakit ini sepenuhnya dan menyelamatkan jutaan nyawa tiap tahunnya.

Penyakit seperti cacar, polio, dan tetanus juga dahulu menyebabkan kematian atau disabilitas pada jutaan orang. Cacar dapat berkembang menjadi komplikasi yang mengancam nyawa seperti meningitis atau kerusakan sistem saraf pusat lainnya. Gondongan (mumps) dapat menyebabkan kerusakan pendengaran. Rubella dapat mengakibatkan kerusakan otak. Difteri dapat menyebabkan produksi sel mati berwarna keabu-abuan yang dapat menutup tenggorokan anak-anak, mengakibatkan kematian oleh kekurangan napas. Semua penyakit ini memiliki kemampuan menular yang juga sangat tinggi, sehingga berpotensi tinggi meningkatkan angka kematian dan disabilitas dengan cepat. Kini penyakit-penyakit ini telah sangat jarang ditemukan atau bahkan di beberapa tempat telah menghilang sepenuhnya. Semenjak vaksin diperkenalkan, penyakit-penyakit ini telah berkurang sampai dengan 99%. Vaksinasi saat ini diperkirakan berhasil mencegah sampai dengan 2,5 juta kematian anak setiap tahunnya di seluruh dunia.

Vaksinasi tidak hanya melindungi individu yang divaksin, tetapi juga masyarakat di sekitarnya yang tidak bisa divaksin dengan alasan medis. Orang dengan imun lemah, pasien kemoterapi, dan sekelompok orang lainnya tidak dapat menerima vaksinasi karena kekebalan tubuhnya yang lemah. Namun, kelompok rentan ini masih bisa merasakan manfaat perlindungan dari vaksin, jika mayoritas populasi di sekitarnya sudah memiliki kekebalan yang dapat muncul setelah mendapat vaksinasi atau setelah terinfeksi secara alami. Kekebalan yang ditimbulkan dalam kelompok inilah yang disebut sebagai herd immunity

Siapa Takut Vaksin

Vaksin telah terbukti sukses dalam menyelamatkan kita dari penyakit mematikan. Smallpox yang mematikan sudah hilang dari muka bumi ini berkat keberhasilan vaksin. Khawatir ketika akan divaksin boleh saja, selama itu tidak menghalangimu untuk mendapatkan vaksinasi. Berbicaralah dengan tenaga kesehatan dan bacalah dari sumber informasi yang kredibel supaya Anda tidak salah informasi soal vaksin. 

Untuk lebih lanjut memahami bahaya dan kemungkinan alasan keraguan masyarakat dalam vaksinasi dan dampaknya, dapat disimak diskusi menarik antara Relatif Perspektif dengan dr. Arifianto Sp.A di dalam episode Yakin dengan Vaksin pada tautan berikut ini. [SPS]

article lainnya
post cover
Jan 5, 2022
/
1 minutes

Cukai Minuman Berpemanis untuk Kehidupan yang Lebih Manis

Wacana cukai minuman berpemanis kembali dicetuskan, apakah kebijakan ini merupakan solusi untuk menurunkan angka kejadian diabetes melitus dan obesitas di Indonesia?

Kesehatan Masyarakat
post cover
Jan 4, 2022
/
1 minutes

Waspada Tanpa Panik: Menyikapi Omicron dengan Bijaksana

Situasi wabah dapat mengancam kesehatan mental kita. Oleh karenanya, tidak hanya dengan menjaga protokol kesehatan, kita juga perlu mengantisipasi derasnya arus informasi dengan membaca artikel yang tidak hanya terkini, namun juga menyajikan fakta yang berimbang.

Kesehatan Masyarakat
post cover
Dec 12, 2021
/
1 minutes

Bagaimana Krisis Iklim Bisa Mempengaruhi Kesehatan Kita?

“Climate change is first and foremost a health crisis”

Krisis Iklim
Instagram
/

Relatif perspektif ⓒ 2020 All right reserved